Minggu, Desember 30, 2007

KALEIDOSKOP 2007

Sebelumnya, walaupun agak terlambat, ijinkan penulis mengucapkan Selamat Iedul Adha. Semoga ritual pengorbanan umat Islam - di saat Hari Raya Kurban maupun di luar itu - diridhai Allah SWT. Amin.

Tampaknya kalender Masehi tetap jadi acuan kita selama peradaban dunia masih dalam genggaman Barat. Mau bukti? Coba saja bandingkan antara selebrasi Tahun Baru Masehi dengan Tahun Baru Islam (Hijrah). Bagaimana bangsa kita ini menyikapi keduanya?

Jika begitu kenyataannya, marilah kita berikan kontemplasi sedikit tentang tahun 2007 ini.


Akhir 2007 ini ditutup dengan episiode memilukan di Pakistan: Benazhir Bhutto terbunuh. Penulis mencium konspirasi busuk di balik peristiwa ini. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang menjadi dalangnya. Ki Mantebkah? atau Sujiwo Tedjo? Ah, dalam level ini paling-paling kita bisanya cuma utak-atik gatuk belaka. Saya cuma berharap jangan sampai ada lagi orang muslim yang terbunuh secara mengenaskan macam begini. Rasa kemanusiaan kita tercabik-cabik. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

Di Indonesia, bencana alam tetap menjadi primadona judul-judul berita di media massa. Esbamyud sering pula berkunjung ke lokasi-lokasi bencana. Bahkan beliau pernah menginap lama di Kraton Yogya, untuk mengambil alih tangan komando dari pemerintah lokal.
Sumatera berkali-kali diguncang gempa. Begitu juga dengan Jawa. Jakarta terkena rob (banjir air pasang) Kalimantan kebanjiran. Longsor dan meluapnya sungai Bengawan Solo menutup jumpa kita di tahun 2007 ini.

Politik sibuk dengan Pilkada. Ada nada-nada sumbang tentang pesta demokrasi regional ini. Memang jika dihitung-hitung, Pilkada macam begini berat di ongkos (baik finansial maupun politik). Perlu ada peraturan integral guna mengatasi masalah ini. Salah satu solusi kreatif, mungkin dengan cara Pilkada yang diselenggarakan serentak dan sama waktunya dengan Pemilu. Tapi, percuma jika wacana ini tidak dibicarakan dalam level yang lebih tinggi. Saya juga heran kemana gerangan geliat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kita? Mengapa petinggi-petingginya tidak kunjung-kunjung berinisiatif menyelenggarakan Sidang ? Apakah Tuan Hidayat Nurwahid dkk job desk-nya sekarang cuma gunting pita, buka SU MPR, melantik Presiden dan Wapres dan bikin Amandemen (yang kebablasan) lagi. Apakah benar dugaan para pengamat, bahwa amandemen ke-4 UUD '45 yang lalu adalah upaya penggembosan, bahkan pengebirian atas peran MPR. Apa MPR sudah amat puas dengan keadaan rakyat saat ini. Ingatlah, demi Allah, kalian dilantik dengan kitab suci untuk mengadakan permusyawaratan atas nama rakyat.


Ekonomi menurut versi pemerintah (sumber dari Badan Pusat Statistika [BPS]) angka kemiskinan sudah turun secara signifikan. Sekarang orang miskin 'hanya' 16 persen (sekitar 40 jutaan orang miskin. Banyak juga loh). Menurut Bank Dunia (seperti dikutip Wiranto) 49 persen orang masih tergolong miskin (jika dikalkulasi 100 juta lebih orang miskin. Wow!). Mengapa ada beda begini? Karena adanya ketidaktransparanan pihak pemerintah dalam menggunakan metodologi dan parameter yang menentukan bagaimana seseorang itu dianggap miskin. BPS ibarat hanya berkata "angka itu benar karena memang harus benar". Lain lagi kata Bappenas: kita ikut ukuran MDG: 1$ perhari perkepala= 16 persen. Orang-orang pintar di Bappenas ini lupa, bahwa MDG biasanya mengurusi negara-negara 'miskin absolut' macam Afrika. Apa kita sudah masuk level Afrika dalam kemiskinan?
Saya pribadi setuju ukuran miskin dengan versi Bank Dunia, yakni 2$ perhari perkepala. Bagaimana BPS, buka dong primbon sampeyan.. Sumber orang dalam di BPS mengatakan (off the record ya..) pengukuran dilakukan dengan mengukur berapa kalori yang cukup bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan badannya. Menurut ukuran internasional pengukuran ini bisa diterima. Tapi konversinya adalah 1 orang = 2200 kalori/hari. Yang menjadi pertanyaan besar: Berapa kalorikah yang diukur oleh BPS? Tampaknya kita harus menunggu Godot dulu baru bisa terima jawabannya.



Lain-lain:

- Indonesia peringkat keempat SEA GAMES (hore..?)
- Ada acara di Bali membicarakan Pemanasan Global. Isu ini akan pertanda baik bagi Indonesia kelak. Kita tunggu saja tanggal mainnya.
- Nagabonar 2 menang FFI: Apa kata Dunia???
- Fauzi Bowo jadi Gubernur DKI pertama yang berkumis. Foke...Ok.

Minggu, Oktober 21, 2007

MEMASYARAKATKAN SETAN (DAN MENYETANKAN MASYARAKAT)

Setelah hampir sebulan penuh menahan hawa nafsu, menyingkirkan keduniaan, menjauhkan diri dari bujuk rayu setan, maka hari kemenangan pun tiba. Kita merayakannya dengan penuh sukacita , bersilaturahmi ke sanak keluarga sambil bermaaf-maafan.

Seperti kita mahfum bersama, tidak hanya manusia saja yang bersuka cita. Malaikat pun berdoa untuk keselamatan kita. Alam semesta raya pun menyirami berkahnya. Akan tetapi, mungkin ini agak kebablasan, ternyata di Indonesia fenomena Lebaran ini ditunggangi pula oleh gerombolan setan dan konco-konconya untuk berpesta ria.

Kuntilanak, Pocong, Sundel Bolong, Jelangkung, Lawang Sewu menghiasi bioskop-bioskop ternama di kota-kota besar kita. Belum lagi film-film horor yang masih akan siap tampil selanjutnya (mungkin ada waiting list-nya juga ya..). Setelah di bulan Ramadhan lalu setan-setan dikerangkeng, maka inilah saatnya gerombolan setan ini untuk menunjukkan jatidirinya secara jantan sambil berteriak ala Julius Caesar: Veni, Vidi, Vici! (terj. bebas: Saya datang, saya ditonton, saya menang).

Untung saja para genderuwo, kuntilanak dan pocong-pocong ini makhluk yang tak terlalu komersil. Jika tidak, harusnya mereka ini menuntut royalti atas pencatutan nama dan karakter yang ada di film-film itu. Dan jika para sineas ini mangkir, maka tiba saatnya bagi para makhluk halus ini akan menuntut balas (hii serem...).

Fenomena film horor bukan barang baru. Yang beda kini mungkin adalah dosisnya yang keterlaluan. Ini bukanlah masalah kreativitas sineas yang mandek, atawa demand yang teramat tinggi. It's a piece of plastic. Cuma urusan bisnis aja (baca: fulus). Jika mau jujur, sebenarnya apapun film yang tampil di masa Lebaran tetap akan dikunjungi banyak orang. Ingat fenomena film Warkop di saat perfilman mati suri, mereka hanya 2 kali produksi film tiap tahunnya (lebaran dan tahun baru). Film-filmnya tetap ditonton banyak orang selama puluhan tahun.

Film adalah anggota keluarga komunikasi massa. Film bukan ditonton untuk kalangan orang kaya, pejabat tinggi, atau kalangan rohaniwan saja. Karena ditujukan bagi khalayak banyak inilah, haruslah secara otomatis terpatri di dalam pundak kaum sineas kita wujud tanggung jawab sosial. Untuk apa sebuah film disebarkan, apa pesan di dalamnya dan apa hikmah yang boleh diambil. Janganlah para kreatif-kreatif film ini terjebak pada slogan-slogan bombastis tapi kampungan, seperti: Seni untuk Seni, Seni untuk Kebebasan atau Seni untuk Rakyat.

Era kini adalah perdagangan bebas. Hanya ada satu slogan: Uang adalah Panglima. Segalanya jadi komoditi. Mulai dari setan, gosip, kriminalitas, politik, agama, seks, perzinaan, kawin-cerai, poligami, wanita , bocah-bocah ingusan dan masih banyak lagi. Tinggal dipilih mana trend yang sedang in. Apakah ini salahnya uang? Tentu tidak. Uang tetaplah tidak ada agamanya. The man behind the scene inilah yang harus dimintai tanggung jawab.

Penulis tak pernah membayangkan suatu wajah dunia tanpa cela. Justru ketidaksempurnaan selalu menjadikan bumi ini penuh warna. Tapi penyimpangan-penyimpangan yang telanjang haruslah diluruskan. Kalau perlu pakailah sekali-kali pedang tajam yang terhunus. Siapa yang yang mampu menggunakan itu? Tentu saja bukan FPI. Bukan pula para cerdik-cendikiawan yang hanya punya lidah tak bertulang. Pemerintah adalah pengemban otoritas amar makruf nahi munkar di dalam lingkup kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di tangan mereka itu nasib kita para rakyat jelata dipertaruhkan. Jangan malah ikut-ikutan penonton bioskop, ketakutan setengah mati.

Setan-setan jangan dibiarkan berkeliaran. Apalagi disosialisasikan. SATAN IS NOT FOR SALE.

Sabtu, Oktober 13, 2007

SELAMAT IDUL FITRI 1428 HIJRAH


FAJAR 1 SYAWAL

Gerbang keampunan
Bukalah..
Ya Tuhan

Cahaya cinta-Mu
Karunia..
Karuniakan

Langit amat cerah dan biru
Gemerlap dengan nur cinta-Mu
Semoga pada hari ini
Kami lahir fitri kembali

(Taufik Ismail)


TAQABALALLAHU MINA WA MINKUM
MINAL AIDIN WAL FAIDZIN
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN



Senin, Oktober 01, 2007

STUCK IN A MOMENT (YOU CAN'T GET OUT OF)

Dalam setiap kehidupan ini, adakalanya kenyataan tak sesuai dengan harapan. Begitu juga dengan nasib seseorang, tak bisa ditebak-tebak kemana arahnya.

Ada orang yang demikian tertib sekali mengatur hidupnya yang sehat dengan berolahraga teratur, mengkonsumsi makanan yang 4 sehat 5 sempurna dan menghabiskan waktunya dengan berpikir positif, eh.. ternyata dia sekarang malah teronggok di salah satu sudut ruang ICU Rumah Sakit.

Ada juga seorang suami yang demikian baiknya, jujur, setia, alim, bertanggung jawab, begitu perhatian terhadap anak-anaknya dan tak lupa amat cintanya dengan sang istri, akan tetapi malah ditimpa kemalangan dengan ditinggal begitu saja oleh isteri dan anak-anaknya dan kini hidup layaknya seperti membujang lagi.

Demikian pula kisah sedih orang-orang innocent yang ditinggal pergi oleh sesuatu yang amat ia cintai, baik akibat bencana alam, kecelakaan maupun tragedi-tragedi lainnya. Inilah suatu tanda bahwa kita tak bisa selalu menatap masa depan dengan kaca mata kuda semata-mata.

Kata orang ahli jiwa, keadaan ini namanya Rem Angin. Kalo ungkapan Bono Fox, vokalis U2 dari Irlandia, lain lagi: Now you're stuck in a moment, and you can't get out of it.

Beda istilah tapi sama dalam makna. Rem angin ibarat kita sedang asyik memacu sepeda kumbang yang terbang dengan kecepatan maksimum, tiba-tiba tampak di depan kita tembok menghalangi jalan kita. Dalam keadaan darurat, kita menekan rem sekencang-kencangnya. Alangkah sialnya, yang kita tekan itu ternyata rem angin. Stuck in a moment, you can't get out of.

Hikmahnya? Pada suatu momen tertentu, di saat kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk melakukan yang optimal, akan tetapi pada akhirnya menunjukkan hasil yang mengecewakan, janganlah berkecil hati. Walaupun manusia-manusia itu terkadang hanya senang melihat waktu kita berhasil saja (kalo melarat jarang ada orang yang mau mengerubungi Anda bukan?) , akan tetapi tidaklah demikian dengan Pencipta kita, Allah SWT.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari apa yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari apa yang dikerjakannya.
(QS Al-Baqarah [2]:286)


Jika begitu bagaimana kita bisa mampu meloloskan diri dari keadaan Stuck tadi? Tidak ada, kecuali bertawakal saja pada Allah. Jika Anda berontak terus-menerus sewaktu terbawa gelombang di tepi pantai, maka justru nyawa Anda akan melayang. Jika Anda mengikuti arus gelombang yang datang ke tepian, bukankah Anda akan selamat?


Seperti dua bait terakhir dalam lagu U2 tadi:

It's just a moment
This time will pass

Kamis, September 20, 2007

TAKJIL

Senja-senja yang cemerlang
Lentera-lentera benderang
Burung-burung terbang

Lantunan quran nan syahdu
Getar-getar adzan mengharu-biru
Suara-suara hati kami yang merindu

Ya Ilahi Robbi..
Dosa-dosa ini
Mohon Engkau ampuni
Sekali lagi..

(Masjid At-Tiin, 8 Ramadhan 1428 Hijrah)

Kamis, September 13, 2007

IHTISAB

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ihtisab, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Muttafaq Alaih)


MARHABAN RAMADHAN. Alhamdulillah. Bulan penuh berkah itu telah datang. Di sinilah Allah menampakkan kasih sayangnya yang tak pernah kering-keringnya itu. Bulan penuh cinta, ampunan dan lindungan Ilahi. Semoga kita dapat mengisinya dengan penuh rasa syukur.


Hadis yang popular di bulan Ramadhan tadi dikeluarkan oleh Imam Bukhari dam Imam Muslim. Demikian akrabnya, sampai-sampai dijadikan salah satu copy dalam iklan sepeda motor dan minuman berenergi menjelang buka puasa. Bahasa Arabnya kira-kira bunyinya begini:

Man shoma romadhona imaanan wahtisaban, ghufirolahu maa taqodama min dzambih


Pada segmen kali ini, penulis bukanlah mencoba untuk menafsirkan hadis. Penulis merasa belum punya ilmu yang mumpuni untuk itu. Saya hanya mengupas bagian permukaan mengenai apa itu ihtisab dalam kalimat wahtisaban tadi. Banyak ustadz/kyai/mubaligh yang sering mengartikan "niat yang tulus semata-mata karena Allah" atau "berharap pahala". Namun, kedua makna ini tidaklah tepat.

Apabila ihtisab adalah niat tulus atau berharap pahala, mengapa justru ada pula peringatan Rasulullah SAW:

"Berapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapat manfaat apa-apa dari puasanya kecuali hanyalah lapar dan dahaga".
(HR.Ibn Majah, Ad-Darimi, dan yang selain mereka dengan sanad yang sahih)

Ihtisab menurut keyakinan penulis lebih cenderung kepada pengertian "hisab" yang artinya "perhitungan" atau "berhitung". Kita jadi teringat kata mutiara dari Hadrat Umar ra:

"Berhitunglah kepada dirimu sendiri sebelum kamu nanti dihitung di hari kemudian"

Jika kita beriman dengan hari akhirat, maka kita pun wajib percaya akan adanya yaumul hisab, hari perhitungan. Di saat itu Allah bukakan kitab amal perbuatan manusia selama hidup di dunia, semuanya -- baik, buruk, manfaat, mudharat -- sampai sekecil-kecilnya. Di hari itulah tampak wajah pucat-pasi orang-orang yang bergelimang dosa.

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada di dalamnya. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun" (QS Al Kahfi [18]:49)


Allah akan menegakkan neraca (mizan) dengan seadil-adilnya. Bedanya, yang ditimbang bukanlah neraca keuangan, melainkan neraca perbuatan baik dan buruk manusia.

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika hanya seberat biji dzarrah pun, pasti Kami mendatangkan nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS Al Anbiya [21]:47)

Sudah sewajarnya, jika sedini mungkin kita mempersiapkan diri akan datang hari hisab dengan menghitung diri kita pula sebagaimana anjuran Umar ibn Khattab ra. Belajarlah jadi akuntan bagi diri kita sendiri di dunia ini. Kita pun mulailah dari sekarang merancang daftar "aset dan liabilitas" amal kita, menyusun "untung dan rugi" perkataan, tindak-tanduk dan perangai kita sehari-hari. Hasilnya "hitung-hitungan" ini bisa kita catat semua ini dalam buku besar diri kita pribadi.

Bagaimana hasilnya nanti? Apakah diri kita dapat predikat "Wajar Tanpa Syarat" (WTS), atau malah divonis "Default" dan akhirnya nama kita masuk ke dalam "Daftar Orang Tercela" (DOT). Atau bagaimana... Itu terserah Anda.


Di dalam Al-Quran juga terdapat ayat yang intinya adalah anjuran Allah SWT agar manusia senantiasa melakukan ihtisab:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Haysr [59]: 18)

Memperhatikan tentu saja berarti melihat dengan seksama dan penuh perhitungan seraya bertanya, "Apa sudah cukup bekal-bekal kita punya untuk menuju hari akhirat?"


Momentum Ramadhan ini adalah saat tepat untuk "berhitung". Mungkin bisa dimulai dengan mencatat setiap harinya kita shalat wajib berjamaah, shalat sunat, tarawih, tadarus dan bersedekah. Anda bisa juga tambahkan datanya secara kreatif tentang amaliah negatif yang (seharusnya) bisa kita hindari di bulan ini seperti: berdusta, ingkar janji, berkhianat, bergunjing, marah, berkata kotor, perbuatan keji dsb. Wah, nampaknya ini agak sulit. Memang.. tapi yang terpenting Anda sudah berusaha untuk jujur pada diri sendiri. Kenapa tidak dicoba?

Semoga di bulan suci ini kita termasuk orang-orang yang diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Caranya? Ihtisablah...

Kamis, September 06, 2007

IRONI ANTARA CITRA DAN REALITA


Ironi

Ironi adalah ketidaksesuaian antara apa yang ditampilkan dengan arti yang sebenarnya. Kadangkala ironi digunakan sebahagian orang sebagai solusi kreatif untuk dapat melepaskan diri dari rintangan-rintangan objektif yang datang menghadang. Kita ambil contoh iklan rokok. Dalam etika, tata cara/krama atau semacamnya banyak aturan-aturan dari penyelenggara Negara yang membatasi cara menampilkan iklan rokok. Misalnya, tidak boleh menampilkan model anak di bawah umur, dilarang menampilkan gambar orang merokok, foto produk dan bahkan diakhir pesan komersialnya wajib diisi dengan peringatan pemerintah tentang bahaya rokok.

Jika dilihat dengan sudut pandang rezim perdagangan bebas, aturan ini beraroma diskriminasi. Mengapa hanya rokok? Apa dosa besar yang dilakukan perusahaan rokok terhadap bangsa dan negara ini. Bukankah justru mereka penyumbang pajak yang relevan dan signifikan (sori Pak Jarwo Kuat, ngutip dikit..) Mengapa demikian "galaknya" negara dalam mengebiri promosi rokok ini?

Apapun alasannya, kita pasti akan tidak puas, sebagaimana kredo komunikasi massa "we cannot satisfied all the people all the time". Mungkin jawaban yang paling tepat adalah "Ah.. di negara mbahnya Kapitalis juga diperlakukan begitu, masak di negara Pancasilais ini kita ngga melakukan hal yang serupa? (bisa ditambah dengan ucapan keponakan saya yang masih SD: "Gimana Negara mau maju..?")

Kembali ke masalah iklan, maka tanpa harus banyak mengeluh orang-orang kreatif di dunia periklanan justru menganggap ini adalah tantangan. Bukankah kreativitas sejati itu akan datang manakala kita berada dalam situasi sulit dan under pressure. Kalo ngga percaya, tanya aja ama MacGyver..

Maka, maklumlah kita jika dalam iklan-iklan rokok kadangkala muncul bermacam ironi. Ada tayangan model iklan yang bergaya koboi, petualang sejati, pilot pesawat tempur, orang-orang aneh, sampai artis dangdut kampung pun ngga mau ketinggalan. Benar-benar ironi, tapi memang kreativitasnya perlu diacungi dua jempol.



Antara Citra dan Realita

Dunia kontemporer memang telah berubah wajah. Jika ditilik secara lebih mendalam, media massa adalah suatu instrumen yang telah mengambil peran yang amat penting. Bahkan ada yang beranggapan media massa -- wa bil khusus Televisi-- adalah the invinsible parents, yaitu semacam makhluk halus yang bergentayangan di rumah dan menggantikan peran orangtua dalam mendidik anak. Tapi cara TV mendidik tidaklah seperti lazimnya guru dengan murid. Sesuai statusnya yang invinsible, dia ibarat arwah yang muncul dari Kotak TV dan sedikit demi sedikit memasuki alam bawah sadar pemirsanya. Keadaan mereka mirip orang kerasukan setan.

Pentingnya penguasaan atas media massa ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Wahai para calon-calon presiden, gubernur, bupati, walikota, kepala desa, kepala dusun... jika kalian ingin memenangi hati rakyat berpalinglah pada media massa ini.. Niscaya tak akan kecewa dirimu...

Esbamyud sebagai orang yang berwawasan luas, sudah lama merancang kemenangan-kemenangan politik di media massa dalam bentuk pencitraan diri (Image Building), di saat saingan-saingan beliau asyik masyhuk dalam kesibukan mereka sendiri. Dengan perlahan tapi pasti Esbamyud yang comes from nowhere dapat memenangi hati rakyat (walaupun temporer, yang penting kan hasilnya bo..). Secara mengejutkan dirinya dan partainya memperoleh dukungan luar biasa. Dan secara sempurna pula dia menuliskan lembaran sejarah dengan tinta emas, yakni dengan memenangi Pilpres 2004.

Namun, sejarah tinggallah sejarah. Presiden kita sekarang ini makin lama dalam beberapa kesempatan makin begitu terhanyut dalam keanggunan profilnya sendiri. Atau mungkin juga dilatar belakangi pembawaan beliau yang pesolek menyebabkan Esbamyud terlalu peduli dengan gangguan stabilitas politik yang mencoba mendongkel bingkai dirinya yang telah lama utuh.

Sebenarnya sikap ini tidak selalu salah. Hanya saja, jika kita terlalu bermain dalam dunia kesan, maka kita selalu akan melupakan objektivitas. Dunia media massa adalah dunia citra dan kesan. Ranah bersemayamnya realitas tangan kedua yang penuh dengan manipulasi kosmetika, trik-trik kamera dan efek-efek dahsyat. Hal ini sejalan dengan konsep eksekusi dalam kreatif iklan yang wilayah kerjanya dibatasi waktu dan tempat. Harus berkesan, walaupun kita sadar bahwa apa tampak tak selalu akan sejalan dengan kenyataan. Dalam dunia media massa dan iklan, pemirsa rela dan patuh untuk dimanipulasi. Tapi di dunia nyata.. apakah sama pula penerimaan kita?



Ironinya Citra, Ironinya Realita

Jika kita paham akan situasi ini, maka baru kita bisa menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan ironinya peristiwa-peristiwa berikut ini:

1. Esbamyud menaikkan harga BBM subsidinya yang diperuntukkan untuk orang tidak mampu, di saat yang sama bermuculanlah wabah busung lapar dimana-mana.

2. Esbamyud menolak dirinya telah menerima dana DKP, di saat yang sama nasib para "korban banjir di perairan lumpur Lapindo" makin lama makin tak menentu.

3. Esbamyud melaporkan ke polisi SM yang telah menuduh dirinya telah menikah sebelum masuk Akabri, di saat yang sama pemerintah mendorong konversi minyak tanah ke gas elpiji yang menyebabkan antrian panjang rakyat pelanggan minyak tanah.

4. Esbamyud mengeluarkan UU yang membolehkan pengelola jalan tol menyesuaikan tarifnya dua tahun sekali, di saat yang sama pengguna kendaraan yang amat marah di ruas-ruas jalan JORR mencaki-maki pegawai pintu tol sampai pingsan.


Wah, apabila ini cuma gaya eksekusi iklan belaka, mungkin amat kreatif. Sayangnya ini bukan khayalan, bukan reality show pula. Inilah ironi, inilah citra, inilah realita. Dan ironi antara citra dan realita ibarat memutar perlahan-lahan jempol tangan seseorang dari posisi atas ke bawah. Cepat pula kita mengerti bahwa itu adalah makna simbolik dari kata-kata "MATILAH KAU!"


Semoga bermanfaat

Minggu, September 02, 2007

MENUJU BANK ISLAM YANG MERAKYAT

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr [59]:7)

Suatu kenisyaaan fenomena bermuculannya Bank-Bank Islam atau lebih akrab kita dengan dengan “Bank Syariah”, merupakan angin segar di antara kering-kerontangnya terobosan pemikiran umat Islam di lapangan ekonomi. Maraknya bank-bank konvensional yang berdifferensiasi atau mengkonversikan institusinya sesuai dengan konsep syariah juga kita sambut dengan rasa syukur dan berbahagia. Akan tetapi, pekerjaan rumah umat Islam tidaklah berhenti sampai di sini. Ada persoalan berat berikutnya yang perlu diemban oleh kita semua, yakni: Apakah dengan banyak bermunculanya bank-bank konvensional yang “hijrah” dan kini berstempel “syariah” sudah mampu diantisipasi oleh institusi dalam manajemen perbankan mereka? Apakah benar-benar pengelolanya memahami tentang konsep Bank Islam yang sesungguhnya? Di lain pihak, maraknya “label-label syariah” dewasa ini pada kosa kata lembaga-lembaga keuangan Islam sudah diletakkan sebagaimana mestinya? Apakah ini hanya sekedar “image buiding”, komoditas atau bahkan “asset” bagi perbankan syariah?

Bank Konvensional
Keberadaan Bank-Bank Konvensional, jika kita telaah lebih mendalam maka akan kita temukan kenyataan bahwa filsafat yang mendasari pemikiran dari “bank dengan bunga” ini tidak lain adalah pragmatisme.
Ada beberapa pokok pemikiran dari filsafat pragmatisme ini, antara lain:

  • Menolak Azas doktrin/ agama.
  • Merupakan filsafat tindakan (what to do, bukan what to think).
  • Asasnya manfaat dan kekuasaan.

Jika ditinjau dari karakteristik falsafah diatas, maka filsafat pragmatisme tak ubahnya -- mengutip Bertrand Russel -- sebagai filsafatnya pedagang. Ini dapat dipahami dari pernyataan John Dewey: manusia pada dasarnya sebuah perusahaan yang membuat rencana dan melaksanakannya. Pemikiran hanya merupakan cara untuk memperpanjang kehidupan.
Apabila membangun peradaban manusia dengan semangat dagang seperti diatas, maka kedudukan mulia manusia sebenarnya telah jatuh ke dalam “hutan belantara” dimana slogannya yang popular adalah dari Charles Darwin “siapa kuat dia dapat bertahan” (the survival of the fittest). Masyarakat yang benar-benar materialistis sebagaimana yang kita lihat di dunia barat dewasa ini. Nilai-nilai kehidupan spiritual dan moral mereka telah hilang ditelan jaman. Datanglah kemudian badai individualisme, konsumerisme dan masih banyak lagi ide-ide komersial lainnya. Melaui promosi iklan yang bertubi-tubi di media massa, manusia di masa ini menjadi mudah menciptakan kebutuhan artisfisial dan mereka berupaya keras di dalam hidupnya untuk dapat mencapainya. Mungkin beruntung bagi orang yang berhasil meraih kebutuhan semu ini, tetapi tidaklah sama nasibnya dengan orang yang gagal. Akibat atmosfer yang sesak dengan persaingan di lapangan keduniaan, pada gilirannya timbullah kerenggangan dalam hubungan antar manusia. Muncul orang-orang yang frustasi dan kecewa hidupnya. Banyak pula yang mencari katarsis (pengalih perhatian) dengan terbenam dalam berbagai penyakit sosial, dan menjadi pengikut partai “foules solitaires”, yakni orang-orang yang banyak jumlahnya tetapi merasa kesepian. Suatu umat yang yang tidak memiliki tujuan dan tak memiliki rasa cinta. Ini adalah kenyataan pahit dunia materialistis yang masih dapat kita rasakan hingga saat ini.
Perlu diketahui, bahwa yang menjadi asas kekuasaan di dalam rezim perdagangan bebas saat ini adalah kekuatan uang. Semakin kuat finansialnya, maka akan semakin mudah seseorang mendapatkan uang lebih banyak lagi. Bank konvensional adalah salah satu institusi menjadi salah satu pendukung dari mainstream kapitalis ini. Apabila institusi-institusi keuangan konvensional mengkonversi unit usahanya dengan sistem syariah, maka perlu dipertanyakan lagi, “Apakah para pengelolanya di dalam unit usaha Islam ini telah paham betul perbedaan bank konvensional dengan bank Islam?


Bank Islam
Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Islam adalah perbedaan yang bersifat fundamental. Jika kita bandingkan secara dialektis dengan perspektif pragmatis yang menjadi dasar pijakan dari bank berbasis konvensional, maka Bank Islam memiliki karakteristik yang unik, yakni:

  • Menerima nilai positif yang bersumberkan syariat, moral dan etika sesuai tuntunan Islam.
  • Merupakan falsafah keseimbangan (tawazun), antara what to do dengan what to think, antara urusan dunia dan akhirat.
  • Asasnya adalah Ketuhanan dan Kemanusiaan (hablum minallah dan hablum minan nas).

Di salah satu ayat dalam Al-Quran terungkap secara mengesankan suatu kehadiran institusi perbankan sebagai upayanya dalam memperbaiki keadaan ekonomi umat. Firman Allah SWT tersebut berbunyi sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at . Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:254)

Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir, arti syafa’at ayat di atas bukanlah dalam konteks di hari akhirat, melainkan dalam urusan keduniaan. Syafa’at disini bermakna: suatu perantaraan antara manusia dengan manusia lainnya dalam usahanya dalam mencapai kebaikan (Lihat Terjemahan Al-Quran versi Departemen Agama RI). Allah SWT, sesuai firman di atas, memberikan perintah kepada kita orang beriman untuk mengeluarkan harta melalui dua jalan:

  1. Jual beli (Perniagaan).
  2. Syafaat.

Transaksi jual beli atau perniagaan beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran. Tentu saja yang paling terngiang-ngiang dalam benak kita adalah peringatan keras Allah SWT untuk membedakan anatara transaksi jual beli dengan transaksi ribawi.


Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]:275)

Aturan dalam Islam demikian tegas memisahkannya jual beli dengan riba. Ini adalah sebuah early warning bagi umat Islam agar senantiasa berhati-hati dan berpikir ulang lagi jika mendekati aktivitas kegiatan jual beli yang terindikasi aroma ribawi di dalamnya.
Syafa’at seperti tadi disebutkan, adalah sebuah upaya perantaraan seseorang dengan orang lainnya untuk mencapai kebaikan bersama. Secara tersirat, Allah SWT berkehendak mengungkapkan agar perlunya wadah untuk menjembatani kegiatan jual beli. Salah satu instrumennya adalah melalui pendirian suatu lembaga pembiayaan yang berdasarkan atas kemaslahatan bersama dan sesuai dengan standar moral dan etika Islam. Inilah yang kita kenal sebagai Bank Islam.

Bank Islam sebagai Institusi Kerakyatan
Islam adalah agama yang memiliki identitas yang teramat teguh. Salah satu sumbangan berharga Islam bagi peradaban dunia ini adalah konsep bahwa “Tidak ada pemisahan yang mutlak (absolute distinction) antara urusan hidup di dunia dengan urusan hidup di akhirat. Ini bermakna bahwa dalam setiap urusan keduniaan pasti tidak akan terlepas dari nilai-nilai positif yang bersumber dari syariat, moral dan etika Islam. Hal ini juga sebagai pembuktian bahwa tidak ada tempat di dalam Islam bagi ide-ide sekulerisme.
Semenjak awal sistem ekonomi Islam amat bertolak belakang dengan sistem kapitalis. Hak milik menurut Islam tidaklah mutlak (relatif), bukan milik perseorangan, kelompok atau monopoli negara, melainkan merupakan fungsi sosial.

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr [59]:7)

Walaupun demikian, Islam tetap mengakui hak milik pribadi yang diperoleh dengan kerja, warisan atau hadiah. Dan Islam lebih memprioritaskan harta yang kita dapatkan hendaknya melalui usaha dan kerja keras.
Ekonomi Islam tidak pernah bersikap netral pada kekuatan-kekuatan yang bersaingan, seperti yang terjadi di dalam era pasar bebas sekarang ini. Ajaran-ajaran Al-Quran senantiasa mengambil keberpihakan kepada yang lemah. Orang yang dikaruniai harta yang berlimpah berkewajiban untuk membelanjakan hartanya pada tujuan yang berdasarkan asas Ketuhanan (iman) dan Kemanusiaan (amal saleh).

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]:92)

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim [14]:31)

Keberadaan pasar dapat diterima, akan tetapi pasar harus memberi kepuasan pada kebutuhan-kebutuhan yang riil, dan cara berfungsinya harus berpedoman pada syariat, moral dan etika Islam. Prinsip ekonomi pemasaran juga hendaknya tidak bisa dibiarkan liar (invisible hand). Pemasaran harus ditundukkan kepada suatu tata kelola pemerintahan yang memiliki suatu tujuan yang jauh lebih tinggi dari dasar pasar dan masyarakat, dimana Negara itu berfungsi.

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak oleh jual beli dari mengingati Allah, dan mendirikan sembahyang, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur [24]:37)


Tentang Mental Konvensional
Suatu tantangan berat bagi para pengelola perbankan untuk mengubah cara berpikir personilnya, apabila mereka telah lama berkecimpung dalam atmosfir konvensional. Suatu budaya yang sudah mengakar di masyarakat tidak mudah dibasmi dengan sekali pukul. Perlu didikan manusiawi setahap demi setahap sampai mereka siap mental untuk meninggalkan cara berpikir dan bertindak yang lama.
Salah satu contoh sikap mental yang lama dan biasa kita alami adalah seperti cara beripikir yang lekat dengan alam budaya Cina, dan populer dengan sebutan falsafah anjing. Bagaimana bunyi falsafah itu?

  1. Jika ada orang yang berpakaian gembel, lusuh dan berjalan dengan lunglai, maka gonggonglah dia dengan sekencang-kencangnya. Buat dia ketakutan setengah mati. Ia cuma gelandangan yang hanya ingin mengemis!
  2. Jika ada orang yang berpakaian rapih tapi berjalan kaki, berjalan sedikit gugup, maka gonggonglah juga sekeras-kerasnya. Dia itu hanyalah salesman yang ingin menawarkan barang dagangannya!
  3. Jika ada orang yang berpakaian rapih, berkendaraan mobil, berjalan dengan tegap, jangan digonggong. Siapa tahu itu teman sejawat atau relasi bisnis majikanmu!
  4. Jika ada orang yang berpakaian amat necis, turun dari mobil mewah dan berbadan tambun, maka angkat ekormu. Cari perhatian padanya. Moga-moga kamu dapat hadiah nanti!

Mental konvensional seperti inilah yang masih sulit diberantas bagi orang-orang yang sudah terlalu lama bergelut di dunia perbankan ribawi. Banyak pengalaman nyata bercerita – bahkan penulis pun mengalaminya sendiri – bahwa untuk mendapatkan pinjaman uang di bank syariah ternyata harus memenuhi syarat seperti poin ke-4 atau minimal poin ke-3. Jika performance Anda tidak seperti itu, maka bersiaplah untuk kecewa. Adilkah ini? Penulis di sini tidak dalam kapasitas untuk menghakimi. Lagipula, bukankah ada ungkapan indah dari William Shakespeare, “Anjing menggonggong kafilah berlalu”?

Menuju Bank Islam yang Merakyat
Apabila kita sepakat bahwa Bank Islam berdimensi kerakyatan, maka harus dibuktikan pula bahwa kita mampu mengubah cara berpikir paradigma bank konvensional secara radikal. Islam adalah ajaran rahmat bagi seluruh manusia. Perlu diingat, Nabi Muhammad SAW mengawali seruan dakwahnya di Makkah hanya memiliki pengikutnya mayoritas dari kalangan rakyat jelata, para miskin papa dan golongan budak. Mengapa mereka begitu cepat menerima Islam? Karena mereka demikian yakinnya akan keadilan Islam dalam mengeluarkan mereka dari lumpur kesusahan di dunia dan di akhirat. Apabila dalam kepentingan dunia kita melupakan asas kemanusiaan yang luhur dari Islam tadi, maka pada hakekatnya kita sudah menggusur salah satu pilar dari ajaran Islam itu sendiri.
Menuju Bank Islam yang merakyat, bukanlah seperti mengikuti paham sosialisme religius. Islam hanya menghendaki bank yang berfungsi sebagai pihak perantara keuangan agar terbuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk mampu – secara mandiri –mengubah nasibnya. Roda ekonomi riil pun akan segera bergulir secara dinamis. Ini adalah adalah esensi dari keadilan dan keseimbangan menurut tuntunan Islam.
Keberpihakan ekonomi Islam terhadap kaum usahawan kecil yang belum beruntung adalah menjadi kewajiban mutlak bagi bank Islam untuk segera membantunya. Dengan demikian, dalam praktiknya di lapangan, bank-bank Islam akan lebih mengedepankan aspek human touch daripada business as usual. Penulis yakin dengan “perubahan budaya” secara mengesankan ini, bank Islam mampu memposisikan diri sebagai bank di hati umat. Pada gilirannya nanti, baru kita akan melihat bahwa tanpa menggunakan gincu yang berlebihan, tanpa promosi yang bombastis di segala lini, tanpa embel-embel “syariah” disana-sini, ajaran-ajaran mulia dari Islam itu sendiri akan tampil dengan wajah yang amat mempesona. Insya Allah. Semoga kita selalu dalam kebaikan.
Wallahu a’lam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA


- Chui, Chin Ning, Thick Face Black Heart, Penerbit Gramedia, 2001, Jakarta.
- Doi, A. Rahma I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Rajawali Press, 2002, Jakarta.
- Garaudi, Roger, Janji-Janji Islam, Penerbit Bulan Bintang, 1985, Jakarta.
- Kasali, Rhenald, Change!, Penerbit Gramedia, 2005, Jakarta.

Sabtu, September 01, 2007

HUMOR

Humor itu universal. Humor juga cara ampuh menertawakan diri sendiri untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit jiwa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena itu, seorang humoris tentu seorang humanis. Simak aja kisah humor legendaris di zaman Perang Dunia II ini:

Hitler mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Begitu melihat Hitler, serentak para pasien memberinya salam: berdiri tegak seraya mengangkat tangan lurus ke muka, lantas berteriak lantang "Heil Hitler!" (Hidup Hitler). Saat ia melewati barisan tampak beberapa orang pria tak memberinya hormat. Hitler kemudian menghardik, “Mengapa kamu tidak memberi hormat seperti yang lain?” Dengan sedikit ketakutan, salah seorang dari mereka menjawab polos, "Kami di sini cuma para perawat, bukan orang gila seperti mereka..”

Tokoh Hitler dalam kisah humor diatas hanyalah subjek penderita. Secara kreatif, mudah saja kita bisa ganti namanya dengan Tamerlane, Mao Tse Tung, atau bahkan Soekarno. Tergantung situasi dan kondisi yang dominan.



Mau coba humor sufi ala Nasruddin Hodja?

Pada suatu hari Nasruddin kehilangan keledainya. Maka iapun pergi ke pasar dan mengumumkan: "Saudara-saudara! Aku baru saja kehilangan keledaiku. Barangsiapa menemukan keledaiku, aku akan memberinya hadiah dua keledai." Mendengar hal itu, orang-orang pun bertanya keheranan, "Hai Nasruddin! Yang benar saja, masak menemukan satu keledai mendapat dua keledai?" Nasruddin menjawab,"Lho masak aku berbohong. Kalian kan tidak tahu bagaimana nikmatnya hati kehilangan sesuatu."

Humor tadi memang tidak renyah jika tanpa dipahami dengan pendalaman tasawuf yang memadai. Seolah-olah Nasrudin menyindir kaum apatis sambil nyinyir dengan nasibnya sendiri. Tapi itu semua diracik dengan indah. Ngga seperti komedi slapstik yang murahan.



Atau Mati Ketawa versi Rusia yang dulu pernah best seller:

Suatu ketika di kota Leningraad seorang pemuda berteriak: "Kruschev babi!".
Pemuda itu kemudian diringkus, diadili dan divonis 21 tahun penjara. Satu tahun karena alasan penghinaan, dan dua puluh tahun karena membocorkan rahasia negara.


Apapun selera humor Anda, selama masih bisa tersenyum membaca kisah-kisah diatas, maka Anda masih tergolong cukup berbahagia. Seperti semboyan Warkop DKI: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang! Betuul..?