Minggu, September 02, 2007

MENUJU BANK ISLAM YANG MERAKYAT

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr [59]:7)

Suatu kenisyaaan fenomena bermuculannya Bank-Bank Islam atau lebih akrab kita dengan dengan “Bank Syariah”, merupakan angin segar di antara kering-kerontangnya terobosan pemikiran umat Islam di lapangan ekonomi. Maraknya bank-bank konvensional yang berdifferensiasi atau mengkonversikan institusinya sesuai dengan konsep syariah juga kita sambut dengan rasa syukur dan berbahagia. Akan tetapi, pekerjaan rumah umat Islam tidaklah berhenti sampai di sini. Ada persoalan berat berikutnya yang perlu diemban oleh kita semua, yakni: Apakah dengan banyak bermunculanya bank-bank konvensional yang “hijrah” dan kini berstempel “syariah” sudah mampu diantisipasi oleh institusi dalam manajemen perbankan mereka? Apakah benar-benar pengelolanya memahami tentang konsep Bank Islam yang sesungguhnya? Di lain pihak, maraknya “label-label syariah” dewasa ini pada kosa kata lembaga-lembaga keuangan Islam sudah diletakkan sebagaimana mestinya? Apakah ini hanya sekedar “image buiding”, komoditas atau bahkan “asset” bagi perbankan syariah?

Bank Konvensional
Keberadaan Bank-Bank Konvensional, jika kita telaah lebih mendalam maka akan kita temukan kenyataan bahwa filsafat yang mendasari pemikiran dari “bank dengan bunga” ini tidak lain adalah pragmatisme.
Ada beberapa pokok pemikiran dari filsafat pragmatisme ini, antara lain:

  • Menolak Azas doktrin/ agama.
  • Merupakan filsafat tindakan (what to do, bukan what to think).
  • Asasnya manfaat dan kekuasaan.

Jika ditinjau dari karakteristik falsafah diatas, maka filsafat pragmatisme tak ubahnya -- mengutip Bertrand Russel -- sebagai filsafatnya pedagang. Ini dapat dipahami dari pernyataan John Dewey: manusia pada dasarnya sebuah perusahaan yang membuat rencana dan melaksanakannya. Pemikiran hanya merupakan cara untuk memperpanjang kehidupan.
Apabila membangun peradaban manusia dengan semangat dagang seperti diatas, maka kedudukan mulia manusia sebenarnya telah jatuh ke dalam “hutan belantara” dimana slogannya yang popular adalah dari Charles Darwin “siapa kuat dia dapat bertahan” (the survival of the fittest). Masyarakat yang benar-benar materialistis sebagaimana yang kita lihat di dunia barat dewasa ini. Nilai-nilai kehidupan spiritual dan moral mereka telah hilang ditelan jaman. Datanglah kemudian badai individualisme, konsumerisme dan masih banyak lagi ide-ide komersial lainnya. Melaui promosi iklan yang bertubi-tubi di media massa, manusia di masa ini menjadi mudah menciptakan kebutuhan artisfisial dan mereka berupaya keras di dalam hidupnya untuk dapat mencapainya. Mungkin beruntung bagi orang yang berhasil meraih kebutuhan semu ini, tetapi tidaklah sama nasibnya dengan orang yang gagal. Akibat atmosfer yang sesak dengan persaingan di lapangan keduniaan, pada gilirannya timbullah kerenggangan dalam hubungan antar manusia. Muncul orang-orang yang frustasi dan kecewa hidupnya. Banyak pula yang mencari katarsis (pengalih perhatian) dengan terbenam dalam berbagai penyakit sosial, dan menjadi pengikut partai “foules solitaires”, yakni orang-orang yang banyak jumlahnya tetapi merasa kesepian. Suatu umat yang yang tidak memiliki tujuan dan tak memiliki rasa cinta. Ini adalah kenyataan pahit dunia materialistis yang masih dapat kita rasakan hingga saat ini.
Perlu diketahui, bahwa yang menjadi asas kekuasaan di dalam rezim perdagangan bebas saat ini adalah kekuatan uang. Semakin kuat finansialnya, maka akan semakin mudah seseorang mendapatkan uang lebih banyak lagi. Bank konvensional adalah salah satu institusi menjadi salah satu pendukung dari mainstream kapitalis ini. Apabila institusi-institusi keuangan konvensional mengkonversi unit usahanya dengan sistem syariah, maka perlu dipertanyakan lagi, “Apakah para pengelolanya di dalam unit usaha Islam ini telah paham betul perbedaan bank konvensional dengan bank Islam?


Bank Islam
Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Islam adalah perbedaan yang bersifat fundamental. Jika kita bandingkan secara dialektis dengan perspektif pragmatis yang menjadi dasar pijakan dari bank berbasis konvensional, maka Bank Islam memiliki karakteristik yang unik, yakni:

  • Menerima nilai positif yang bersumberkan syariat, moral dan etika sesuai tuntunan Islam.
  • Merupakan falsafah keseimbangan (tawazun), antara what to do dengan what to think, antara urusan dunia dan akhirat.
  • Asasnya adalah Ketuhanan dan Kemanusiaan (hablum minallah dan hablum minan nas).

Di salah satu ayat dalam Al-Quran terungkap secara mengesankan suatu kehadiran institusi perbankan sebagai upayanya dalam memperbaiki keadaan ekonomi umat. Firman Allah SWT tersebut berbunyi sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at . Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:254)

Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir, arti syafa’at ayat di atas bukanlah dalam konteks di hari akhirat, melainkan dalam urusan keduniaan. Syafa’at disini bermakna: suatu perantaraan antara manusia dengan manusia lainnya dalam usahanya dalam mencapai kebaikan (Lihat Terjemahan Al-Quran versi Departemen Agama RI). Allah SWT, sesuai firman di atas, memberikan perintah kepada kita orang beriman untuk mengeluarkan harta melalui dua jalan:

  1. Jual beli (Perniagaan).
  2. Syafaat.

Transaksi jual beli atau perniagaan beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran. Tentu saja yang paling terngiang-ngiang dalam benak kita adalah peringatan keras Allah SWT untuk membedakan anatara transaksi jual beli dengan transaksi ribawi.


Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila . Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata , sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al Baqarah [2]:275)

Aturan dalam Islam demikian tegas memisahkannya jual beli dengan riba. Ini adalah sebuah early warning bagi umat Islam agar senantiasa berhati-hati dan berpikir ulang lagi jika mendekati aktivitas kegiatan jual beli yang terindikasi aroma ribawi di dalamnya.
Syafa’at seperti tadi disebutkan, adalah sebuah upaya perantaraan seseorang dengan orang lainnya untuk mencapai kebaikan bersama. Secara tersirat, Allah SWT berkehendak mengungkapkan agar perlunya wadah untuk menjembatani kegiatan jual beli. Salah satu instrumennya adalah melalui pendirian suatu lembaga pembiayaan yang berdasarkan atas kemaslahatan bersama dan sesuai dengan standar moral dan etika Islam. Inilah yang kita kenal sebagai Bank Islam.

Bank Islam sebagai Institusi Kerakyatan
Islam adalah agama yang memiliki identitas yang teramat teguh. Salah satu sumbangan berharga Islam bagi peradaban dunia ini adalah konsep bahwa “Tidak ada pemisahan yang mutlak (absolute distinction) antara urusan hidup di dunia dengan urusan hidup di akhirat. Ini bermakna bahwa dalam setiap urusan keduniaan pasti tidak akan terlepas dari nilai-nilai positif yang bersumber dari syariat, moral dan etika Islam. Hal ini juga sebagai pembuktian bahwa tidak ada tempat di dalam Islam bagi ide-ide sekulerisme.
Semenjak awal sistem ekonomi Islam amat bertolak belakang dengan sistem kapitalis. Hak milik menurut Islam tidaklah mutlak (relatif), bukan milik perseorangan, kelompok atau monopoli negara, melainkan merupakan fungsi sosial.

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr [59]:7)

Walaupun demikian, Islam tetap mengakui hak milik pribadi yang diperoleh dengan kerja, warisan atau hadiah. Dan Islam lebih memprioritaskan harta yang kita dapatkan hendaknya melalui usaha dan kerja keras.
Ekonomi Islam tidak pernah bersikap netral pada kekuatan-kekuatan yang bersaingan, seperti yang terjadi di dalam era pasar bebas sekarang ini. Ajaran-ajaran Al-Quran senantiasa mengambil keberpihakan kepada yang lemah. Orang yang dikaruniai harta yang berlimpah berkewajiban untuk membelanjakan hartanya pada tujuan yang berdasarkan asas Ketuhanan (iman) dan Kemanusiaan (amal saleh).

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]:92)

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim [14]:31)

Keberadaan pasar dapat diterima, akan tetapi pasar harus memberi kepuasan pada kebutuhan-kebutuhan yang riil, dan cara berfungsinya harus berpedoman pada syariat, moral dan etika Islam. Prinsip ekonomi pemasaran juga hendaknya tidak bisa dibiarkan liar (invisible hand). Pemasaran harus ditundukkan kepada suatu tata kelola pemerintahan yang memiliki suatu tujuan yang jauh lebih tinggi dari dasar pasar dan masyarakat, dimana Negara itu berfungsi.

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak oleh jual beli dari mengingati Allah, dan mendirikan sembahyang, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur [24]:37)


Tentang Mental Konvensional
Suatu tantangan berat bagi para pengelola perbankan untuk mengubah cara berpikir personilnya, apabila mereka telah lama berkecimpung dalam atmosfir konvensional. Suatu budaya yang sudah mengakar di masyarakat tidak mudah dibasmi dengan sekali pukul. Perlu didikan manusiawi setahap demi setahap sampai mereka siap mental untuk meninggalkan cara berpikir dan bertindak yang lama.
Salah satu contoh sikap mental yang lama dan biasa kita alami adalah seperti cara beripikir yang lekat dengan alam budaya Cina, dan populer dengan sebutan falsafah anjing. Bagaimana bunyi falsafah itu?

  1. Jika ada orang yang berpakaian gembel, lusuh dan berjalan dengan lunglai, maka gonggonglah dia dengan sekencang-kencangnya. Buat dia ketakutan setengah mati. Ia cuma gelandangan yang hanya ingin mengemis!
  2. Jika ada orang yang berpakaian rapih tapi berjalan kaki, berjalan sedikit gugup, maka gonggonglah juga sekeras-kerasnya. Dia itu hanyalah salesman yang ingin menawarkan barang dagangannya!
  3. Jika ada orang yang berpakaian rapih, berkendaraan mobil, berjalan dengan tegap, jangan digonggong. Siapa tahu itu teman sejawat atau relasi bisnis majikanmu!
  4. Jika ada orang yang berpakaian amat necis, turun dari mobil mewah dan berbadan tambun, maka angkat ekormu. Cari perhatian padanya. Moga-moga kamu dapat hadiah nanti!

Mental konvensional seperti inilah yang masih sulit diberantas bagi orang-orang yang sudah terlalu lama bergelut di dunia perbankan ribawi. Banyak pengalaman nyata bercerita – bahkan penulis pun mengalaminya sendiri – bahwa untuk mendapatkan pinjaman uang di bank syariah ternyata harus memenuhi syarat seperti poin ke-4 atau minimal poin ke-3. Jika performance Anda tidak seperti itu, maka bersiaplah untuk kecewa. Adilkah ini? Penulis di sini tidak dalam kapasitas untuk menghakimi. Lagipula, bukankah ada ungkapan indah dari William Shakespeare, “Anjing menggonggong kafilah berlalu”?

Menuju Bank Islam yang Merakyat
Apabila kita sepakat bahwa Bank Islam berdimensi kerakyatan, maka harus dibuktikan pula bahwa kita mampu mengubah cara berpikir paradigma bank konvensional secara radikal. Islam adalah ajaran rahmat bagi seluruh manusia. Perlu diingat, Nabi Muhammad SAW mengawali seruan dakwahnya di Makkah hanya memiliki pengikutnya mayoritas dari kalangan rakyat jelata, para miskin papa dan golongan budak. Mengapa mereka begitu cepat menerima Islam? Karena mereka demikian yakinnya akan keadilan Islam dalam mengeluarkan mereka dari lumpur kesusahan di dunia dan di akhirat. Apabila dalam kepentingan dunia kita melupakan asas kemanusiaan yang luhur dari Islam tadi, maka pada hakekatnya kita sudah menggusur salah satu pilar dari ajaran Islam itu sendiri.
Menuju Bank Islam yang merakyat, bukanlah seperti mengikuti paham sosialisme religius. Islam hanya menghendaki bank yang berfungsi sebagai pihak perantara keuangan agar terbuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk mampu – secara mandiri –mengubah nasibnya. Roda ekonomi riil pun akan segera bergulir secara dinamis. Ini adalah adalah esensi dari keadilan dan keseimbangan menurut tuntunan Islam.
Keberpihakan ekonomi Islam terhadap kaum usahawan kecil yang belum beruntung adalah menjadi kewajiban mutlak bagi bank Islam untuk segera membantunya. Dengan demikian, dalam praktiknya di lapangan, bank-bank Islam akan lebih mengedepankan aspek human touch daripada business as usual. Penulis yakin dengan “perubahan budaya” secara mengesankan ini, bank Islam mampu memposisikan diri sebagai bank di hati umat. Pada gilirannya nanti, baru kita akan melihat bahwa tanpa menggunakan gincu yang berlebihan, tanpa promosi yang bombastis di segala lini, tanpa embel-embel “syariah” disana-sini, ajaran-ajaran mulia dari Islam itu sendiri akan tampil dengan wajah yang amat mempesona. Insya Allah. Semoga kita selalu dalam kebaikan.
Wallahu a’lam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA


- Chui, Chin Ning, Thick Face Black Heart, Penerbit Gramedia, 2001, Jakarta.
- Doi, A. Rahma I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Rajawali Press, 2002, Jakarta.
- Garaudi, Roger, Janji-Janji Islam, Penerbit Bulan Bintang, 1985, Jakarta.
- Kasali, Rhenald, Change!, Penerbit Gramedia, 2005, Jakarta.

Tidak ada komentar: