Kamis, September 06, 2007

IRONI ANTARA CITRA DAN REALITA


Ironi

Ironi adalah ketidaksesuaian antara apa yang ditampilkan dengan arti yang sebenarnya. Kadangkala ironi digunakan sebahagian orang sebagai solusi kreatif untuk dapat melepaskan diri dari rintangan-rintangan objektif yang datang menghadang. Kita ambil contoh iklan rokok. Dalam etika, tata cara/krama atau semacamnya banyak aturan-aturan dari penyelenggara Negara yang membatasi cara menampilkan iklan rokok. Misalnya, tidak boleh menampilkan model anak di bawah umur, dilarang menampilkan gambar orang merokok, foto produk dan bahkan diakhir pesan komersialnya wajib diisi dengan peringatan pemerintah tentang bahaya rokok.

Jika dilihat dengan sudut pandang rezim perdagangan bebas, aturan ini beraroma diskriminasi. Mengapa hanya rokok? Apa dosa besar yang dilakukan perusahaan rokok terhadap bangsa dan negara ini. Bukankah justru mereka penyumbang pajak yang relevan dan signifikan (sori Pak Jarwo Kuat, ngutip dikit..) Mengapa demikian "galaknya" negara dalam mengebiri promosi rokok ini?

Apapun alasannya, kita pasti akan tidak puas, sebagaimana kredo komunikasi massa "we cannot satisfied all the people all the time". Mungkin jawaban yang paling tepat adalah "Ah.. di negara mbahnya Kapitalis juga diperlakukan begitu, masak di negara Pancasilais ini kita ngga melakukan hal yang serupa? (bisa ditambah dengan ucapan keponakan saya yang masih SD: "Gimana Negara mau maju..?")

Kembali ke masalah iklan, maka tanpa harus banyak mengeluh orang-orang kreatif di dunia periklanan justru menganggap ini adalah tantangan. Bukankah kreativitas sejati itu akan datang manakala kita berada dalam situasi sulit dan under pressure. Kalo ngga percaya, tanya aja ama MacGyver..

Maka, maklumlah kita jika dalam iklan-iklan rokok kadangkala muncul bermacam ironi. Ada tayangan model iklan yang bergaya koboi, petualang sejati, pilot pesawat tempur, orang-orang aneh, sampai artis dangdut kampung pun ngga mau ketinggalan. Benar-benar ironi, tapi memang kreativitasnya perlu diacungi dua jempol.



Antara Citra dan Realita

Dunia kontemporer memang telah berubah wajah. Jika ditilik secara lebih mendalam, media massa adalah suatu instrumen yang telah mengambil peran yang amat penting. Bahkan ada yang beranggapan media massa -- wa bil khusus Televisi-- adalah the invinsible parents, yaitu semacam makhluk halus yang bergentayangan di rumah dan menggantikan peran orangtua dalam mendidik anak. Tapi cara TV mendidik tidaklah seperti lazimnya guru dengan murid. Sesuai statusnya yang invinsible, dia ibarat arwah yang muncul dari Kotak TV dan sedikit demi sedikit memasuki alam bawah sadar pemirsanya. Keadaan mereka mirip orang kerasukan setan.

Pentingnya penguasaan atas media massa ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Wahai para calon-calon presiden, gubernur, bupati, walikota, kepala desa, kepala dusun... jika kalian ingin memenangi hati rakyat berpalinglah pada media massa ini.. Niscaya tak akan kecewa dirimu...

Esbamyud sebagai orang yang berwawasan luas, sudah lama merancang kemenangan-kemenangan politik di media massa dalam bentuk pencitraan diri (Image Building), di saat saingan-saingan beliau asyik masyhuk dalam kesibukan mereka sendiri. Dengan perlahan tapi pasti Esbamyud yang comes from nowhere dapat memenangi hati rakyat (walaupun temporer, yang penting kan hasilnya bo..). Secara mengejutkan dirinya dan partainya memperoleh dukungan luar biasa. Dan secara sempurna pula dia menuliskan lembaran sejarah dengan tinta emas, yakni dengan memenangi Pilpres 2004.

Namun, sejarah tinggallah sejarah. Presiden kita sekarang ini makin lama dalam beberapa kesempatan makin begitu terhanyut dalam keanggunan profilnya sendiri. Atau mungkin juga dilatar belakangi pembawaan beliau yang pesolek menyebabkan Esbamyud terlalu peduli dengan gangguan stabilitas politik yang mencoba mendongkel bingkai dirinya yang telah lama utuh.

Sebenarnya sikap ini tidak selalu salah. Hanya saja, jika kita terlalu bermain dalam dunia kesan, maka kita selalu akan melupakan objektivitas. Dunia media massa adalah dunia citra dan kesan. Ranah bersemayamnya realitas tangan kedua yang penuh dengan manipulasi kosmetika, trik-trik kamera dan efek-efek dahsyat. Hal ini sejalan dengan konsep eksekusi dalam kreatif iklan yang wilayah kerjanya dibatasi waktu dan tempat. Harus berkesan, walaupun kita sadar bahwa apa tampak tak selalu akan sejalan dengan kenyataan. Dalam dunia media massa dan iklan, pemirsa rela dan patuh untuk dimanipulasi. Tapi di dunia nyata.. apakah sama pula penerimaan kita?



Ironinya Citra, Ironinya Realita

Jika kita paham akan situasi ini, maka baru kita bisa menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan ironinya peristiwa-peristiwa berikut ini:

1. Esbamyud menaikkan harga BBM subsidinya yang diperuntukkan untuk orang tidak mampu, di saat yang sama bermuculanlah wabah busung lapar dimana-mana.

2. Esbamyud menolak dirinya telah menerima dana DKP, di saat yang sama nasib para "korban banjir di perairan lumpur Lapindo" makin lama makin tak menentu.

3. Esbamyud melaporkan ke polisi SM yang telah menuduh dirinya telah menikah sebelum masuk Akabri, di saat yang sama pemerintah mendorong konversi minyak tanah ke gas elpiji yang menyebabkan antrian panjang rakyat pelanggan minyak tanah.

4. Esbamyud mengeluarkan UU yang membolehkan pengelola jalan tol menyesuaikan tarifnya dua tahun sekali, di saat yang sama pengguna kendaraan yang amat marah di ruas-ruas jalan JORR mencaki-maki pegawai pintu tol sampai pingsan.


Wah, apabila ini cuma gaya eksekusi iklan belaka, mungkin amat kreatif. Sayangnya ini bukan khayalan, bukan reality show pula. Inilah ironi, inilah citra, inilah realita. Dan ironi antara citra dan realita ibarat memutar perlahan-lahan jempol tangan seseorang dari posisi atas ke bawah. Cepat pula kita mengerti bahwa itu adalah makna simbolik dari kata-kata "MATILAH KAU!"


Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar: