Rabu, April 02, 2008

AGAMA DAN KESUSILAAN













(oleh Leopold Weiss)


Apapun juga aturan-aturan khusus dari bermacam-macam agama -- betapapun tinggi atau primitif ajaran-ajarannya, baik yang bertuhan satu, bertuhan banyak, maupun yang mengajarkan alam semesta sebagai tuhan -- inti dalam dari tiap pengalaman keagamaan di segala jaman, di sepanjang lintasan sejarah dan di semua peradaban, ada dua:

Pertama, keyakinan batin manusia bahwa semua yang ada dan terjadi di dalam alam ini adalah penjelmaan dari suatu Kekuasaan yang sadar, menciptakan dan meliputi segala sesuatu -- atau dengan perkataan yang lebih sederhana, suatu Kemauan Tuhan (Iradat Ilahi).

Kedua, perasaan bahwa seseorang harus, atau sedikitnya patut, menyelaraskan diri dengan Kemauan itu.

Berdasarkan perasaan dan keyakinan ini sajalah ditegakkan kesanggupan manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Jika kita tidak menganggap ada suatu Kemauan yang mutlak dan membuat rencana di dalam akar semesta alam ini, tidak akan ada artinya kita menganggap salah satu tujuan dan tindakan kita dapat dikategorikan sebagai benar atau salah, bersusila atau asusila.

Jika tidak ada kepercayaan kepada suatu Kemauan yang merencanakan seperti itu, semua pengertian kita mengenai kesusilaan pasti akan samar-samar dan makin lama makin tunduk kepada kepentingan sendiri: yaitu tunduk kepada soal, apakah suatu tujuan atau tindakan itu berguna atau tidak bagi orang tersebut, atau bagi masyarakat dimana ia hidup. Akibatnya, maka "yang benar" dan "yang salah" hanya menjadi istilah yang relatif, dan dapat ditafsirkan dengan sesuka hati, menurut kebutuhan-kebutuhan individu masyarakatnya, yang pada gilirannya dapat dikutak-katikkan oleh perubahan yang berlangsung terus menerus di dalam lingkungan sosial ekonomi suatu bangsa.

Peranan pikiran dan perasaan keagamaan di dalam alam kesusilaan ini memiliki kedudukan yang amat penting, jika kita menyadari bahwa pada masa ini ada kecenderungan kuat memusuhi agama sedemikian hebat. Dimana-mana dan tiap hari kita mendengar kecaman dari kaum cendekiawan, bahwa agama itu tidak lain adalah fosil bekas-bekas peninggalan jaman kebiadaban masa lampau, yang sekarang dianggap sudah tendesak oleh "Jaman Ilmu". Mereka mengatakan, bahwa ilmu akan menggantikan sistem-sistem keagamaan yang sudah usang dan kolot. Ilmu yang berkembang sedemikian megah dan tak tertahankan, akhirnya akan mengajar manusia agar hidup dengan "akal yang murni", dan kemudian menciptakan ukuran-ukuran kesusilaan baru tanpa suatu sanksi metafisik.

Optimisme kekanak-kanakan yang berkenaan dengan ilmu ini pada hakekatnya tidaklah modern sama sekali, bahkan sebaliknya terlalu kolot. Sebuah peniruan membabi-buta dari optimisme kekanak-kanakan di dunia Barat dalam abad ke-18 dan ke-19. Selama masa itu (dan terutama dalam bagian kedua dari abad ke-19), banyak ilmuwan Barat percaya rahasia-rahasia alam tidak lama lagi akan dapat mereka buka selubungnya, dan mulai saat itu tidak akan ada yang merintangi manusia untuk mengatur kehidupannya di alam yang terbebas dari kecaman akal yang dimiliki dewa-dewa.

Sedangkan pemikir-pemikir pada masa kita sekarang lebih berhati-hati -- jika tidak akan dikatakan sangsi tentang hal ini. Di bawah pengaruh ilmu fisika abad ke-20 yang modern dan dahsyat, mereka kini sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ilmu deterministik tidak sanggup mengabulkan harapan-harapan rohaniah yang dibebankan kepadanya kira-kira seratus tahun lalu. Sebab pemikir-pemikir itu telah mengetahui bahwa rahasia-rahasia alam itu bertambah tebal selubungnya dan makin musykil jika penyelidikan kita semakin maju.
Tiap hari menjadi lebih jelas, soal-soal bagaimana terjadinya jagad ini, bagaimana hidup berkembang di dalam alam ini, dan apa yang sebenarnya menjadi gejala-gejala hidup itu sendiri, tidak akan pernah mungkin terjawab dengan semata-mata mempergunakan alat-alat ilmiah. Dan karena itu tidak dapat dijawab pula soal hakekat sebenarnya dan tujuan manusia itu hidup di muka bumi ini. Sampai kita sanggup menjawab pertanyaan terakhir ini, kita tidak dapat -- walaupun mencoba -- menetapkan nilai-nilai moral seperti "yang baik" dan "yang buruk". Ini semata-mata karena istilah semacam itu tidak berarti sama sekali, kecuali jika telah dihubungkan dengan suatu pengetahuan (sejati atau khayalan belaka) tentang hakekat dan tujuan hidup manusia.

Hal inilah yang mulai disadari oleh para ilmuwan yang telah tinggi kemajuan pikirannya. Mereka mengerti bahwa mustahil dapat dijawab soal-soal metafisik dengan menggunakan alat fisik saja. Penyelidikan mereka telah membuang jauh harapan kekanak-kanakan dari abad yang lalu, bahwa ilmu akan dapat memberikan petunjuk--petunjuk di bidang etika dan kesusilaan.
Cendikiawan Barat berpikiran maju ini bukannya tidak mempercayai ilmu. Sebaliknya, mereka meyakini bahwa ilmu akan menyibakkan manusia pada keajaiban--keajaiban yang lebih besar dari ilmu dan pencapaian. Namun, mereka menyadari pula bahwa daya-upaya ilmiah tidak memiliki hubungan langsung dengan kehidupan moral dan rohaniah manusia. Ilmu memang dapat dan telah membimbing kita ke dalam pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitar kita dan di dalam diri kita. Akan tetapi, karena ia bekerja menyelidiki fakta-fakta di dalam alam, dan menganalisis hukum-hukum yang tampak dan menguasai saling hubungan dari fakta--fakta itu, maka ilmu tidak dapat dituntut memutuskan tentang tujuan hidup yang sanggup memberi kita petunjuk-petunjuk mengenai perilaku sosial yang harus diikuti. Hanya secara tidak langsung -- dengan demikian spekulatif -- ilmu itu dapat mencoba memberi kita Saran secara ilmiah.

Celakanya, karena ilmu selalu dalam keadaan berubah-ubah (selalu dapat diubah oleh penemuan fakta-fakta baru dari alam) -- dan akibatnya ia terus-menerus harus dinilai dan ditafsirkan kembali rangkaian fakta yang ditetapkan terdahulu -- maka saran itu diberikan dengan kebimbangan, dipaksa-paksakan, bahkan kadang-kadang amat bertentangan dengan saran yang diberikan sebelumnya. Pendeknya, ilmu itu tidak pernah sanggup menetapkan dengan pasti apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia agar memperoleh kedamaian dan kebahagiaan. Dengan alasan ini, ilmu tidak dapat (juga tidak sungguh-sungguh mencoba) menanam kesadaran moral di dalam jiwa manusia. Permasalahan etika dan kesusilaan memang tidak terletak di dalam lapangan ilmu. Ia bersemayam seluruhnya di dalam lapangan agama.

Hanyalah dengan perantaraan pengalaman keagamaan, kita dapat sampai -- tepat atau keliru -- pada batas-batas nilai moral yang terbebas dari segala -perubahan fana di sekitar kita. Saya katakan, tepat atau keliru, karena dengan memperhatikan semua ajaran-ajaran agama dengan pemikiran yang obyektif, selalu akan terbuka kemungkinan bagi orang untuk keliru menggunakan pangkal dalil metafisik, suatu agama (atau agama apa saja). Sebagai akibatnya, akan menyimpang pula penilaian moral yang disimpulkan dari pangkal dalil itu. Dengan demikian, penerimaan atau penolakan kita terhadap suatu agama, sebagai ikhtiar penghabisan, harus dibimbing oleh akal kita, yang menyatakan kepada kita seberapa jauh suatu agama tertentu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang pokok, baik jasmani maupun rohani.

Perlunya kita mengarahkan segenap kemampuan akal secara tajam berkaitan dengan ajaran-ajaran suatu agama, tidak sedikitpun mengurangi keyakinan dasar bahwa hanya agama saja yang dapat memberikan arti pada hidup kita. Keyakinan ini memperbesar dorongan dalam diri kita untuk menyesuaikan pemikiran dan perilaku diri kita dengan suatu pola dari nilai-nilai moral yang bebas sama sekali dari konstelasi sesaat dari kehidupan perseorangan. Agama dapat memberikan gelanggang yang luas untuk suatu persetujuan diantara kelompok-kelompok besar manusia mengenai apa yang baik (dan karena itu diinginkan) dan apa yang buruk (dan karena itu dihindarkan). Dan masih adakah lagi suatu keraguan, bahwa persetujuan semacam itu adalah syarat mutlak dan pasti untuk membangun ketertiban di dalam hubungan-hubungan manusia?
Ditinjau dari sudut pandang ini, hasrat keagamaan di dalam diri manusia bukanlah suatu taraf yang sekedar lewat di sepanjang sejarah perkembangan jiwanya, melainkan sumber terakhir dari semua pikiran etikanya dan semua pemahamannya tentang kesusilaan. Hasrat keagamaan itu bukanlah hasil dari keserampangan keyakinan primitif, yang akan ditinggalkan apabila sudah meningkat ke masa "pencerahan", melainkan satu-satunya pemuasan bagi kebutuhan manusia yang sejati dan pokok di setiap masa dan di dalam segala lingkungan. Dengan kata lain, ia merupakan insting.

Karena itu, adalah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa suatu negara yang didirikan di atas dasar-dasar keagamaan memberikan harapan masa depan yang lebih baik bagi kebahagiaan nasional daripada suatu negara yang ditegakkan di atas pengertian tentang suatu organisme politik yang "sekular". Sudah tentu dengan syarat bahwa doktrin keagamaan yang menjadi sendi negara itu, memperhatikan sepenuhnya:

1. Kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial manusia.
2. Hukum evolusi sejarah dan intelektual yang menguasai masyarakat manusia sebagai suatu keseluruhan.

Yang pertama dari dua syarat ini dapat dipenuhi hanya jika doktrin keagamaan tersebut mengakui adanya nilai positif, bukan saja dari sifat kerohanian manusia, tetapi juga tabiat biologisnya, sebagaimana pasti dilakukan oleh Islam. Syarat yang kedua dapat dipenuhi jika hukum politik -- yang akan menuntun perilaku masyarakat -- bukan saja konkrit, tetapi juga terbebas dari segala kekakuan, suatu yang kita tuntut bagi hukum politik sesuai ajaran yang termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah.