Minggu, Oktober 21, 2007

MEMASYARAKATKAN SETAN (DAN MENYETANKAN MASYARAKAT)

Setelah hampir sebulan penuh menahan hawa nafsu, menyingkirkan keduniaan, menjauhkan diri dari bujuk rayu setan, maka hari kemenangan pun tiba. Kita merayakannya dengan penuh sukacita , bersilaturahmi ke sanak keluarga sambil bermaaf-maafan.

Seperti kita mahfum bersama, tidak hanya manusia saja yang bersuka cita. Malaikat pun berdoa untuk keselamatan kita. Alam semesta raya pun menyirami berkahnya. Akan tetapi, mungkin ini agak kebablasan, ternyata di Indonesia fenomena Lebaran ini ditunggangi pula oleh gerombolan setan dan konco-konconya untuk berpesta ria.

Kuntilanak, Pocong, Sundel Bolong, Jelangkung, Lawang Sewu menghiasi bioskop-bioskop ternama di kota-kota besar kita. Belum lagi film-film horor yang masih akan siap tampil selanjutnya (mungkin ada waiting list-nya juga ya..). Setelah di bulan Ramadhan lalu setan-setan dikerangkeng, maka inilah saatnya gerombolan setan ini untuk menunjukkan jatidirinya secara jantan sambil berteriak ala Julius Caesar: Veni, Vidi, Vici! (terj. bebas: Saya datang, saya ditonton, saya menang).

Untung saja para genderuwo, kuntilanak dan pocong-pocong ini makhluk yang tak terlalu komersil. Jika tidak, harusnya mereka ini menuntut royalti atas pencatutan nama dan karakter yang ada di film-film itu. Dan jika para sineas ini mangkir, maka tiba saatnya bagi para makhluk halus ini akan menuntut balas (hii serem...).

Fenomena film horor bukan barang baru. Yang beda kini mungkin adalah dosisnya yang keterlaluan. Ini bukanlah masalah kreativitas sineas yang mandek, atawa demand yang teramat tinggi. It's a piece of plastic. Cuma urusan bisnis aja (baca: fulus). Jika mau jujur, sebenarnya apapun film yang tampil di masa Lebaran tetap akan dikunjungi banyak orang. Ingat fenomena film Warkop di saat perfilman mati suri, mereka hanya 2 kali produksi film tiap tahunnya (lebaran dan tahun baru). Film-filmnya tetap ditonton banyak orang selama puluhan tahun.

Film adalah anggota keluarga komunikasi massa. Film bukan ditonton untuk kalangan orang kaya, pejabat tinggi, atau kalangan rohaniwan saja. Karena ditujukan bagi khalayak banyak inilah, haruslah secara otomatis terpatri di dalam pundak kaum sineas kita wujud tanggung jawab sosial. Untuk apa sebuah film disebarkan, apa pesan di dalamnya dan apa hikmah yang boleh diambil. Janganlah para kreatif-kreatif film ini terjebak pada slogan-slogan bombastis tapi kampungan, seperti: Seni untuk Seni, Seni untuk Kebebasan atau Seni untuk Rakyat.

Era kini adalah perdagangan bebas. Hanya ada satu slogan: Uang adalah Panglima. Segalanya jadi komoditi. Mulai dari setan, gosip, kriminalitas, politik, agama, seks, perzinaan, kawin-cerai, poligami, wanita , bocah-bocah ingusan dan masih banyak lagi. Tinggal dipilih mana trend yang sedang in. Apakah ini salahnya uang? Tentu tidak. Uang tetaplah tidak ada agamanya. The man behind the scene inilah yang harus dimintai tanggung jawab.

Penulis tak pernah membayangkan suatu wajah dunia tanpa cela. Justru ketidaksempurnaan selalu menjadikan bumi ini penuh warna. Tapi penyimpangan-penyimpangan yang telanjang haruslah diluruskan. Kalau perlu pakailah sekali-kali pedang tajam yang terhunus. Siapa yang yang mampu menggunakan itu? Tentu saja bukan FPI. Bukan pula para cerdik-cendikiawan yang hanya punya lidah tak bertulang. Pemerintah adalah pengemban otoritas amar makruf nahi munkar di dalam lingkup kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di tangan mereka itu nasib kita para rakyat jelata dipertaruhkan. Jangan malah ikut-ikutan penonton bioskop, ketakutan setengah mati.

Setan-setan jangan dibiarkan berkeliaran. Apalagi disosialisasikan. SATAN IS NOT FOR SALE.

Tidak ada komentar: