Senin, Maret 24, 2008

SINETRON KITA, WAJAH KITA

Sinetron Indonesia. Membahas topik yang satu ini layaknya membicarakan tentang cuaca buruk. Kita sering mengeluhkan, mengkhawatirkan dan mengharap-harap keadaan menjadi baik; tapi kita tetap tak bisa merubahnya. Lho, bukankah dagelan politik juga begitu? Benar.

Namun, biarlah soal hiruk-pikuk politik, huru-hara pilkada dan semacamnya diurus oleh pihak yang berkompeten di bidangnya. Percayakan saja kepada KPU, kalau mereka sudah beres urus tender sana-sini. Tinggalkan juga soal hukum. Mari kita serahkan pada kejaksaan agung untuk mengusutnya. Mudah-mudahan mereka ada waktu luang di sela-sela bisnis jual beli permata. Atau -- nah, ini yang paling mantap -- serahkanlah urusan negara kita ini pada kepala negara. Pasti Esbamyud mampu memberesinya apabila album kedua beliau telah selesai dirilis. Fokus kita kini hanya satu: s i n e t r o n.

Seringkali kita terpaksa menggunakan topeng kemunafikan. Di satu sisi kita gemar sekali mempergunjingkan aib-aib orang lain (cerai, zina, pengkhianatan cinta, hamil di luar nikah, kekerasan dalam rumah tangga dlsb.) Kita terima ini semua berkat amaliah dari media massa - wa bil khusus tayangan infotainment. Anehnya, kita seringkali mengucapkan naudzubillah dan wanti-wanti jangan sampai diri dan keluarga kita yang mengalami musibah dan nasib memalukan seperti itu.

Kita juga kadang amat berminat melihat orang lain mengalami kecelakaan, korban penyiksaan brutal, kronologi pembunuhan dan pemerkosaan, orang gantung diri. Dan sekali lagi, sumber informasi yang paling mudah dan murah, kita terima kembali dari tayangan televisi yang berbaju berita kriminal. Tapi sebenarnya kita amat khawatir jikalau tindakan kriminal itu masuk dan terjadi dalam rumah kita. (Waspadalah.. waspadalah..)

Gimana kalau soal hantu, kuntilanak, pocong, genderuwo yang bertebaran di layar perak kita? Lho, itu kan udah dibahas. Sama saja, banyak nonton film begituan juga bukannya kita tambah berani; malah betul-betul menjadi manusia pengecut Indonesia yang seutuhnya.

Bagaimana dengan sinetron kita?
Tampaknya sinetron banyak juga kemiripannya dengan tayangan-tayangan televisi yang tadi disebutkan. Bedanya adalah, jikalau infotainment dan berita kriminal isi pesannya diangkat dari pendekatan news (yang berarti harus aktual, cepat, tajam, dan relatif dapat dipercaya), sedangkan sinetron tidaklah demikian. Ia adalah produk pesan yang sengaja diciptakan, diracik, diberi ramuan-ramuan khusus, kemudian bim-salabim! Siap dihidangkan..

Diciptakan. Ini berarti sinetron adalah suatu hasil kerja kreatif. Mula-mula, muncul ide yang datang dari salah satu penjuru langit. Yuk, bikin sinetron yuk.. Ide ini kemudian diracik. Berhasil atau tidaknya sinetron ini akan tergantung pada banyak hubungan dan kerjasama dengan pihak lain. Ada pak sutradara, penulis skenario, penata busana/rias, media massa, pengiklan, dan jangan lupa juga ada ahli-ahli pembuat rating (primbonnya televisi).

Apa ramuannya? Ibarat tukang baso , jawabannya tentu "ini rahasia dagang". Ia tersembunyi rapat-rapat. Namun, sejatinya ramuan ini adalah tentang pesan-pesan yang ingin disampaikan, nilai-nilai yang ingin ditanamkan dan mental-mental yang ingin dibina. Semuanya itu akan bermuara kepada pemirsa yang dapat menerima tayangan itu dari antena televisinya. Tidak peduli pemirsa itu menonton dari istana negara, menara gading, ataupun dari dalam huma di atas bukit. Tidak masalah apakah penontonnya itu seorang presiden, bergelar profesor doktor atau Ahmad Albar. Demokratis, komunis, massif.

Sayang sekali, para pelaku industri sinetron kita menderita penyakit 'lupa kronis'. Mungkin ini akibat begitu ketat dan stressnya persaingan dunia persinetronan. Semboyan mereka "yang penting dagangan gue laku". Ataukah memang selera bos PH-PH ini dari sononya memang begono-gono? Yang pasti, akibat lupa tempat berdiri, mereka jadi lupa diri. Alasan bahwa sinetron yang demikianlah yang diminati pemirsa adalah isapan jempol belaka. Ngga percaya? Coba aja sinetron yang sekarang ini ada di prime time pindah tayang jadi pukul 03.30 atau jam 13.30 WIB. Apakah tetap diminati orang?

Bagaimanapun hasilnya, hidangan harus tetap tersedia di meja. The show must go on. Akibatnya, dengan alasan 'kejar tayang', hampir seluruh hidangan sinetron kita berselera 'junk food', dan beraroma 'basi' disertai bau busuk yang menyengat.

Coba kita bahas temanya,
Ada seorang ibu kandung yang tega menyengsarakan hidup anaknya tercinta. Anehnya lagi, anak lelakinya yang ganteng (dan jangan lupa: kaya) ini IQ-nya benar-benar di bawah garis kemiskinan. Dikibuli berkali-kali oleh makhluk apapun bisa. Ada kisah lain tentang adik kandung yang benci setengah mati sama kakak kandungnya sendiri. Tema lainnya, perempuan anak miskin (lagi) menjadi pembantu dan tiba-tiba, bak putri salju, mereka disukai pangeran-pangeran tampan dari dalam istana kaca. Kisah lain mengambil tema tentang perjuangan suci seorang perempuan gembel (kata2 ini khas sinetron kita) yang hamil di luar nikah (?). Ada juga ibu-ibu yang lagaknya lebih mirip nenek sihir ketimbang manusia. Cerita wanita miskin, lugu, tapi nasibnya amat sangat beruntung mendapat pemuda kaya, tampan, berani, lembut, setia dan pengertian. Dunia remaja? Full cinta-cintaan, nyosor sana dan sini, bicara kasar dengan orang tua, kurang ajar dengan guru, rebutan pasangan, tampar-tamparan. Coba sekarang kita tengok dunia anak-anak: ada anak kecil yang belajar di kelas sambil menggendong adik bayinya. Lalu ada anak SD yang bicara begitu 'tua', sharing, memberi nasehat kepada bapaknya sendiri. Ada anak ingusan begitu cepat jadi diva cilik, lalu kebanjiran job. Bahkan yang paling aneh, ada 'si Unyil' yang bisa membuat proposal dan berhasil mengajukan penawaran di kantor. Believe it or not.

Settingnya metropolis: rumah gedongan, perkantoran elit, cafe, wajah-wajah indo, bermobil mewah, hasrat untuk kebendaan, harta warisan dll. Kemiskinan ada juga muncul, tapi hanya sekedar tampilan fisik. Tak ada sempat waktu untuk menggali lebih dalam tentang kehidupan orang miskin. Yang penting cukup tergambar bahwa hidup orang miskin itu susah dan jangan pernah sudi untuk jadi orang miskin. Sebuah perspektif kemiskinan ditinjau dari teropong bintang milik orang-orang yang belum pernah kekurangan uang karena kebetulan dirinya keturunan orang kaya.

Jika kita amati lebih teliti lagi, antara sinetron satu dengan lain amat sering terjadi kemiripan tema. Tidak hanya tema, antara episiode-episiode tertentu kadang terjadi kemiripan kisah. Tiba-tiba pemeran utamanya menjadi buta (diduga penulis skenarionya penggemar film2 Rhoma Irama), tiba-tiba pura-pura lumpuh, atau dengan mudahnya hamil di luar nikah. Semuanya satu nada, seragam dan tanpa kompromi. Apa yang terjadi?

Sinetron kita adalah refleksi dari wajah suram kita. Di tengah kepenatan, kesedihan, himpitan kesusahan , hidup tanpa arah dan keputusasaan yang melanda kita dari hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik; cobalah tengok dan bercermin. Lalu tanyakanlah pada wajah yang ada di hadapan kita: "Inikah wajah kita yang sesungguhnya?"

Tidak ada komentar: