Rabu, Maret 26, 2008

RESENSI AAC

Setelah menempuh begitu banyak rintangan, akhirnya penulis berhasil juga menyaksikan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) di bioskop 21. Walaupun hanya kebagian di bangku ketiga paling depan. Padahal udah pesan tiket juga loh. Nevermind.

Ada yang menganggap film ini bagus dalam aspek visual, tapi kurang greget dalam penceritaan dan penokohan. Kawan saya bilang, "Jauh banget deh bro dengan novelnya". Betulkah begitu?

Sejujurnya, secara pribadi saya tidak beranggapan demikian. Penulis menilai Hanung Bramantyo adalah sutradara yang berpengalaman dan cukup apik menggarap film-film adaptasi dari karya novel (Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo). Mungkin, ini akibat tekanan dan tangan-tangan usil produser yang mau "dengan modal sekecil-kecilnya, dapat untung sebanyak-banyaknya", maka dibikin banyak kompromi. Coret sana dan sini. Mirip-mirip peristiwa pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Gentlement Agreement?

Selain akting Fedi Nuril yang 'kurang mata, darah dan pesona' (padahal dia adalah sentral cerita), secara umum film ini cukup mewakili novelnya. Memang ada yang sedikit 'macet' di beberapa scene, terutama di saat Fachri dijebloskan di dalam penjara (alamak, ikhwan kita ini. Sabarlah sedikit!).

Ada baiknya jika kita membaca kesesuaian antara novel AAC ini dengan versi layar lebarnya. Sebenarnya penulis juga menganggap ada yang 'tidak beres' dengan novelnya ini. Tapi ini sulit sekali dituangkan melalui kata-kata. Namun, ada resensi novel AAC di internet yang saya anggap paling komprehensif dan dapat mewakili 'kemacetan' pikiran saya selama ini. Sebenarnya sudah lama penulis simpan tulisan tersebut (inisalnya: Ferrari). Ijinkan saya mengutip resensi dari beliau. Mudah-mudahan ini amat bermanfaat bagi diri pribadi penulis, Habiburahman Syairozi (soalnya kalo istilah El-Shirazi itukan asalnya kan dari Persia) dan para calon penulis muda lainnya. Semoga bermanfaat.




R E S E N S I

Begini saja. Apa obsesi anda? Kalau anda seorang saintis, mungkin anda berharap sejak kecil anda adalah orang yang jenius dalam banyak ilmu pengetahuan, jauh melampaui teman-teman sebaya anda. Anda sejak kecil hingga sekarang, adalah tempat bertanya semua orang. Anda hafal banyak hal luar kepala, dan mampu menjelaskan apapun, segala hal, dalam paradigma sains. Tentu anda juga ingin ganteng atau cantik, sangat pintar bergaul (meskipun sangat pintar di sekolah), banyak disukai lawan jenis. Lalu juga hangat di pergaulan, dan menjadi panutan orang-orang di kalangan anda. Pada usia dua puluhan anda mulai menghasilkan karya-karya sains besar, dan pada usia empat puluhan anda berhasil meraih hadiah nobel.

Anda juga ingin kecerdasan dan karya-karya sains yang anda hasilkan membuat anda jadi orang yang sangat kaya, walaupun lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak lupa, bumbu rumah besar, mobil mewah, dan istri yang luar biasa cantiknya, atau suami yang luar biasa tampannya. Selain itu, sebagai sentuhan tambahan, anda berharap sejak kecil juga bersekolah tambahan pada guru-guru agama kelas satu. Sehingga pada usia SMP anda sudah hafal Al-Qur’an, pada usia SMA anda sudah banyak mengerti persoalan fiqh, hafal hadits, pakar bahasa Arab, juga disela-sela kesibukan masih bisa mengisi waktu luang dengan berdakwah, ceramah, dan mengajar persoalan agama.

Lengkap sudah. Alim, cerdas, jenius, cantik atau ganteng (atau kalaupun tidak, tetap dikejar-kejar lawan jenis). Sangat kaya, juga hafal Qur’an, pakar hadits, terkemuka di komunitas, meraih hadiah nobel, panutan di masyarakat, sekaligus tempat bertanya masyarakat dalam persoalan agama. ketika berumahtangga, kalau bisa sebaiknya penyatuan kedua belah pihak merupakan perpaduan dari kalangan ulama terkemuka dengan kalangan pengusaha ternama. Apa yang kurang?

Itu obsesi seorang saintis, mungkin. Kalau anda seorang pekerja kantoran? Kira-kira sama, hanya dalam bingkai kehidupan kantor. Seorang dosen? Atau ibu rumah tangga? Tidak jauh. Seorang aktivis dakwah? Tidak akan jauh dari itu, tapi tentu dalam bingkai kehidupan seorang aktivis dakwah. Semua ingin hidup sedemikian lancar dan mudah, linear. Makin tambah umur, makin baik saja kehidupan ini. Sedikit banyak, itu obsesi kita semua. Muda bahagia, dewasa kaya, pasangan tergila-gila, dan mati masuk surga, saking alimnya. Kita, atau tepatnya hawa nafsu kita, selalu ber’panjang angan-angan’ seperti itu. Hawa nafsu kita berangan-angan tentang kehidupan ini yang sedemikan indah dan mudahnya.

Kita kembali ke novel.

Pertama membuka novel AAC, saya cukup terkesan. Lima belas kali cetak ulang, dalam waktu dua tahun saja! Lalu disambung dengan enam halaman (!) berisi sembilan belas kutipan komentar positif maupun pujian dari kalangan tokoh masyarakat dan pembaca. Dan saya mulai membaca Bab I.

Tokoh utamanya seorang pria usia dua puluhan bernama Fahri, anak seorang penjual tape ketan keliling di kampung, lulusan madrasah yang kebetulan berhasil sekolah S2 sampai ke Mesir. Penyampaian pengarang bagus. Alurnya mengalir lancar dan rapi, dengan diwarnai detil seperlunya, khas pengarang pria yang tidak merasa perlu untuk berkutat terlalu dalam dengan detil.

Di mata saya, bab-bab pembuka membangun fondasi cerita dengan baik sekali. Pembaca dibawa mengenal tokoh utama dan mulai mengenal tokoh-tokoh terkait dengan rapi dan mengesankan. Penulis sanggup membuat pembaca ‘hidup’ dalam keseharian sang tokoh dengan rapi dan wajar, tanpa terlalu banyak berkutat di detil. Tidak ada ‘culture shock’ pembaca yang merasa asing ketika masuk ke kehidupan tokoh dalam novel tersebut. Pengarang mampu membuat isi novel tersebut seperti bagian dari kehidupan kita, walaupun dengan setting kehidupan keseharian mahasiswa di Mesir. Ini cukup membuat saya angkat topi.

Pada bab-bab selanjutnya, bab-bab pengantar, pembaca dikenalkan dengan tokoh kedua dengan cara yang misterius, sekaligus indah. Sayang, pada bab-bab ini juga saya mulai merasa aneh, walaupun baru sedikit. Secara halus, bab tiga difungsikan untuk menampakkan pada pembaca mengenai kepakaran dan kefaqihan sang tokoh dalam persoalan agama, bahkan orang Mesir yang baru sekali bertemu dalam kereta pun langsung terkesan dengan kepakaran sang mahasiswa muda ini (yang kebetulan merasa perlu untuk menunjukkan kemampuan dirinya dalam kereta umum). Selain menunjukkan kemampuannya berbicara dalam bahasa Arab, Jerman dan Perancis, bab-bab ini juga menggambarkan pada pembaca betapa sang tokoh adalah orang yang dituakan dan disegani di kalangan mahasiswa di kosnya maupun bagi kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir. ‘Alangkah pintarnya diriku’ terasa menjadi esensi bab-bab ini.

Walaupun demikian, di sisi yang lain, pembaca dibawa bertemu dengan tokoh kedua dengan cara yang mengesankan. Yang juga mengesankan, pembaca tidak tahu bahwa ada seorang tokoh di bab-bab awal ini yang kelak juga akan menjadi seorang tokoh utama, karena dimunculkan dengan demikian halusnya.

Masuk ke bab-bab pertengahan, walaupun disampaikan dengan halus dan baik sekali, tapi esensi cerita mulai dibumbui dengan taburan serakan kebaikan-kebaikan diri sang tokoh, penggambaran bahwa sang tokoh ternyata adalah ikhwan yang diimpikan, atau obyek obsesi, dari kalangan wanita-wanita ’shalihah’ (kalangan wanita berjilbab, belajar agama, dari latar belakang keluarga kaya atau ulama terkemuka), juga dari wanita Islam Jerman, dan dari wanita ‘ahlul kitab’ (kristen koptik), yang ‘kebetulan’ semuanya digambarkan sebagai wanita yang luar biasa cantiknya. Semuanya jatuh cinta kepadanya, mengirim surat-surat cinta, dan sang tokoh ‘terpaksa’ tidak menanggapinya, dengan mengajukan dalil-dalil persoalan muhrim di Qur’an dan hadits. Esensi bab-bab ini? ‘Alangkah teguh imanku, tiada tergoda’.

Masuk ke bab-bab esensi cerita, sebenarnya saya mengharapkan sekali adanya sebuah kejutan yang insightful, yang dalam, yang spiritual, yang bermakna, sesuai label di cover novelnya : ‘Sebuah Novel (Islami) Pembangun Jiwa.’ Apa saya mendapatkannya?

Kisah pada bab-bab inti diawali dengan pernikahan yang keterlaluan beruntungnya. Sesuai tata cara ‘islami’ (dalam tanda kutip), sang tokoh menikah dengan akhwat yang tidak dikenalnya, tapi dipilihkan ustadnya. Tak dinyana, akhwat tersebut luar biasa cantiknya (baru ketahuan karena sebelumnya selalu mengenakan cadar), anak seorang saintis terkemuka sekaligus pengusaha internasional, dan memiliki sebuah apartemen supermewah. Maka pindahlah sang mahasiswa anak tukang tape itu, dari kamar kos kelas mahasiswa ke apartemen paling mewah di Kairo. Dan disana, sebagai istri ’shalihah’ yang berbakti, sang istri membagi segala miliknya untuk suami tercinta (yang digambarkan romantis luar biasa setelah menikah: romantis yang ‘islami’). Termasuk membagi kepemilikan apartemen mewah. Dan si istri, sebagai tanda baktinya, memaksa suaminya menerima satu dari dua kartu ATM milik sang istri yang masing-masing berisi uang puluhan juta dollar.

Jadilah ’sekonyong-konyong’ (apa ya kata yang tepat?) seorang anak tukang tape ketan keliling menjadi multi ziliuner (dalam dollar, bukan dalam rupiah), suami pemilik saham banyak hotel dan apartemen mewah yang tersebar di berbagai belahan dunia. Ia pun, untuk bisa mengantar istrinya, mau tidak mau ia pun ‘terpaksa’ harus belajar mengemudikan mobil (mewah). Tidak lupa, supaya tetap hidup sederhana, dari banyak pilihan mobil yang harus dibeli, ia menganjurkan pada istrinya untuk membeli mobil (mewah) yang bekas saja, tidak perlu yang baru.

Pada saat yang sama, akhwat-akhwat (cantik) lain yang selama ini terobsesi padanya menjadi sedemikian patah hati, sampai ada yang kehilangan semangat hidup hingga koma. Ada pula yang menghiba untuk dijadikan istri kedua saja. Namun, karena nasihat bijak sang tokoh cerita yang demikian bijaksana, pada akhirnya si akhwat mau juga menikah dengan ikhwan ’sholeh’ lain sambil belajar untuk melupakan dirinya, walaupun akhwat ini menulis dalam surat cintanya, ‘cintaku padamu t’lah terlanjur mendarah daging dan menyumsum dalam diriku, kalau engkau tidak mau berpoligami, maka biarkan aku membawa cintaku ke jalan sunyi, jalan yang ditempuh orang sufi, setia pada yang dicintai sampai mati.’

Kemudian, alur cerita tiba-tiba dibuat dramatis dengan diputar balik secara mendadak. Sang tokoh, karena sesuatu dan lain hal, ternyata harus masuk penjara. Istri cantiknya hampir diperkosa. Dalam penjara ia menjadi kurus kering dan kurang makan, mengalami siksaan keji, dan sebagainya. Lalu cerita dibalik lagi sehingga sang tokoh bebas dengan dramatis, sekaligus membuat saya menghela nafas.

Saya kira, jika seandainya kisah jatuh bangun dalam penjara ini digali lebih dalam, mungkin nuansa novel ini berubah. Sayangnya, justru di titik ‘ujian kehidupan’ ini, titik di mana biasanya seseorang mendapatkan hikmah dan rasa butuh akan Allah, titik ketika seseorang menghayati hakikat dirinya sebagai makhluk yang fakir dan butuh kepada Rabb-nya, hanya disajikan sebagai dramatisasi cerita.

Sebenarnya di bab-bab ini saya benar-benar mengharapkan ada sesuatu yang bermakna. Tapi rupanya, dalam kisah selanjutnya, kebebasan sang tokoh dari penjara membuatnya masuk ke sebuah situasi yang sedemikian rupa sehingga si tokoh, mau tidak mau, harus menerima permintaan sang istri cantiknya itu (yang baru saja dinikahinya) untuk menikah lagi dengan wanita yang tak kalah jelita kecantikannya. Menariknya, si istrilah yang dengan menangis harus memaksa suaminya berpoligami, dan si suami terpaksa menerima permintaan istrinya itu dengan menangis juga…

Bab-bab penutupnya? Saya merasa tidak mendapatkannya. Benar, walaupun yang saya sampaikan di atas bukan akhir cerita, tapi kisahnya terasa terpotong begitu saja, tidak ada bab-bab epilog yang mengantar untuk menutup buku dan mengakhiri cerita.

Jadi apa insightnya? Justru itulah yang membuat saya menghela nafas seselesainya membaca. Saya merasa tidak memperoleh insight apa-apa. Apa jiwa saya bangun, sesuai tulisan di sampul bukunya, ’sebuah novel pembangun jiwa’? Rasanya tidak. Jiwa saya seperti jadi hampa tertimbun angan-angan : oh, andai saya seperti itu, andai kehidupan senikmat itu, dan sebagainya. Angan-angan baru itu justru cenderung melenyapkan rasa bersyukur saya dengan kehidupan saya yang, walaupun ’segini-gininya’ ini (beli novel aja mikir dulu, bo), Allah sendirilah yang merancang skenario kehidupan saya, dan kehidupan anda, dengan tangan-Nya sendiri, spesifik untuk kita masing-masing.

Ada yang positif muncul dari dalam diri saya seselesainya membaca : saya semakin rindu kesejatian, dengan makna dan perenungan; dan saya semakin tak suka saja dengan kepalsuan dan atribut tempelan.

: : : : : : : :

Jangan salah. Ini bukan sebuah novel yang buruk. Sama sekali bukan. Malah mungkin cenderung mengasyikkan untuk dibaca. Kalau bagi anda sebuah novel yang mengasyikkan adalah sebuah novel yang bagus, maka mungkin novel ini cukup bagus. Tapi mungkin yang saya cari dalam sebuah buku berbeda dengan apa yang anda cari.

Saya mencari proses. Saya lebih suka sebuah ‘kealiman’ ditampilkan dengan latar belakang perjuangan penempaan diri yang mati-matian, daripada kesana-kemari mengutip ayat dan hadits, seakan menjadi sebuah keharusan bagi seorang tokoh yang alim. Saya mencari hikmah kehidupan dalam agama, bukan menyampaikan atribut agama terlalu sering hingga menjadi kehilangan gaungnya. Lebih baik kisah satu hikmah yang diraih dengan mati-matian, diminum dan ditelan dengan perjuangan, daripada ribuan hikmah yang diumbar berserakan tapi sebatas kutipan. Sejujurnya, saya tadinya mengharapkan lebih dari apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai ‘novel Islami Indonesia terbaik saat ini.’ Mungkin harapan saya terlalu tinggi.

Kualitas secara umum? Bagi saya pribadi, just another novel. Doesn’t stand out in crowd. Adakah Tuhan didalamnya? Tidak. Demikian pula tidak ada gambaran seseorang yang berjuang dan jatuh bangun mencari Tuhan dan kesejatian di dalamnya, hanya ada gambaran keseharian seorang ikhwan dan nilai-nilai yang menjadi idealnya. Tapi atribut keagamaan memang berserakan di dalamnya. Novel ini baru melukiskan fenomena kehidupan sang tokoh, tapi belum menyentuh esensi kehidupannya sendiri.

Sebuah novel Islami? Wallahu ‘alam. Jika ‘Islam’ berarti ‘berserah diri (pada Allah)’, tidak ada peristiwa keberserahdirian sang tokoh dalam novel ini. Rasanya ia lebih bersandar pada kemampuan dan keunggulan dirinya (yang memang menonjol, atau ditonjolkan), daripada adanya sebuah kisah yang memberikan nuansa pemahaman akan hakikat keberserahdirian. Tidak ada kerinduan dan kebutuhan seorang hamba pada Rabb-nya dalam novel itu.

Worth to buy? Tergantung apa yang anda cari, kalau uang anda pas-pasan saja seperti saya. Kecuali anda punya uang lebih dan punya waktu membacanya, bolehlah. Tapi menurut saya, buku ini masih ‘absolutely worth to borrow.’ Yang belum baca, baca saja, dan perhatikan ‘rasa bacaan’ yang terbentuk dalam diri anda. Yang udah punya? Pinjemin ke yang mau baca. Atau tunggu filmnya, yang sekarang konon sedang dalam masa produksi. Mutu kertas? Kertas di dalamnya berbahan sama dengan kertas koran, bahkan sedikit lebih tipis. Layout? Belum sampai taraf indah, tapi cukup baik dan nyaman di baca. Sayang kertasnya agak tipis dan tembus, apalagi kalau diberi stabilo. Sampul buku? Cukup, walaupun agak terlalu ramai dengan pemuatan komentar endorsement positif pembaca. Back cover? Isinya enam (!) komentar positif pembaca, tidak ada bagian yang menggambarkan isi sama sekali.

Saya tahu tulisan ini akan membuat panas banyak orang. Tapi saya tentu boleh berpendapat. Apalagi, saya sudah membeli novelnya (yang asli dan bukan bajakan), dengan harga yang lumayan. Dan saya cukup optimis, jika melihat novel ini, bagi seorang Habiburrahman El-Shirazy masalah konten di novel-novel berikutnya hanyalah masalah waktu.

Kenapa novel ini laku keras? Mungkin karena sebagian besar muslim di Indonesia memiliki mimpi yang sama dalam harapan ‘ikhwan/akhwat ideal’, dan melihat ada bagian dari keinginan dirinya yang terwakili oleh novel ini: alim, baik, murid guru-guru agama papan atas, hafal Al-Qur’an, faqih dalam persoalan agama, pintar, disegani dan dituakan, pintar bergaul, lancar tiga bahasa, penuh kata-kata bijak, dirindui banyak lawan jenis, dan super kaya dengan instan. Ideal dalam kacamata ‘agama beratribut duniawi’, tentu saja. Sebuah cara beragama yang sebatas fenomena dan perilaku, belum sampai memicu hadirnya rasa haus akan makna dan esensi. Seperti itukah ‘muslim’ ideal? Bagaimana sebenarnya Allah ‘memandang’ seorang muslim yang ideal?

Kalau anda kebetulan adalah seorang yang suka bermimpi untuk sejenak melupakan persoalan hidup, mungkin novel ini pas buat anda. Tapi kalau anda adalah orang yang suka mencari stimulus perenungan, atau berharap menemukan satu hal bermakna dalam yang bisa menjadi stimulus untuk membuat anda menjadi lebih ingin mengerti Tuhan, mengerti diri, atau mengerti esensi kehidupan lebih dalam lagi –walaupun sejengkal–, agaknya novel ini bukan untuk anda.

Terakhir, pertanyaan ini tak henti-hentinya menggelitik saya: kenapa semua tokoh akhwatnya harus berwajah luar biasa cantiknya?

Tidak ada komentar: